Senin, 30 Januari 2012

Kajian 36: Tentang Puasa

Pengantar Blog:

Pada artikel Kajian 7: Merasakan Zikirullah, maka melalui puasa yang intens diharapkan bisa "merasakan" secara haq. Karena dengan menghayati makna dan hakikat puasa secara sebenarnya akan mengantarkan manusia kepada perasaan azalinya sebagai manusia. Puasa diwajibkan (bagi yang beriman) oleh semua agama samawi. Puasa adalah salah satu ibadah yang digemari oleh pelaku spiritual. Bahkan pada suatu hadits yang menyatakan bahwa 'pahala' puasa adalah Tuhan sendiri yang mengurusnya, sehingga tidak berlebihan jika saya menilai bahwa puasa adalah salah satu pintu laduni jika kita benar-benar ikhtiyar melalui puasa...

***

Dan jangan kau campur-adukkan yang hak dengan bathil 
dan jangan kau sembunyikan yang hak sedang kamu tahu. 42) 

Dan dirikan shalat, tunaikan zakat 
dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'. 43) 

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, 
sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, 
padahal kamu baca Al-Kitab (Taurat). 
Maka tidakkah kamu berpikir 44) 

Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu 
dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, 
kecuali bagi orang-orang yang khusyu', 45) 

(yaitu) orang-orang yang meyakini, 
bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya 
dan bahwa mereka akan kembali pada-Nya. 46) 

QS. 2. al-Baqarah (Sapi Betina) 42-46 


KAJIAN ini membahas hakikat puasa. Tetapi pada penggalan Firman Tuhan QS. 2. al-Baqarah (Sapi Betina) di atas tidak mencantumkan atau menyinggung perihal puasa. Apa hubungannya? 

”Dan jangan kau campur-adukkan yang hak dengan bathil dan jangan kau sembunyikan yang hak sedang kamu tahu. 42) Dan dirikan shalat, tunaikan zakat dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'. 43)” 

36.1. Puasa: Regresi Keadilan 

Yang hak dan yang batil, yang benar dan yang salah… dan seterusnya. Jika memisahkan angka-angka secara matematis dari angka negatif dan angka positif, sangatlah mudah karena terbentang pada garis bilangan real. Tetapi untuk masalah sosial dan akhlaq, tidaklah semudah membedakan angka negatif di sisi kiri dan angka positif di sisi kanan. 

Misalnya kasus yang cukup mudah dicerna adalah binatang tikus dan babi, terutama bangkai, hukumnya haram dimakan. Tetapi pada keadaan terjepit di hutan atau situasi perang, hukum haram menjadi halal karena keadaan darurat. Kasus ini tidak berarti memudahkan adanya pelanggaran hukum atas dasar keterpaksaan yang disengaja, mengada-ada alasan untuk darurat. Islam mengatur keadilan secara apa adanya, bukan mengada-ada. 

Misalnya kasus lain yang lebih rumit bahkan sangat mustahil bisa diterima akal umumnya. Ada seorang kyai nyleneh yang biasa minum di bar. Minuman keras jelas-jelas haram hukumnya karena merusak syaraf yang bersangkutan. Kyai nyleneh itu sadar sesadar-sadarnya. Tetapi niatnya yang tersembunyi adalah ingin “memancing” seorang atau beberapa pengunjung atau pelanggan bar yang merasa aneh dan bertanya; “Kok ada kyai di bar dan menenggak minuman?”. Beberapa orang penasaran lalu bertanya-tanya hingga ngobrol berlama-lama bahkan sebagian orang lalu menjadi santrinya. Kyai tersebut ternyata “mengorbankan” dirinya sejenak untuk mengangkat pecandu minuman keras yang tak menjalankan syari’at agama, lalu mereka diajaknya untuk menjadi santrinya hingga menjadi ahli ibadat yang patuh. Kyai tersebut mampu mengentas beberapa orang. Perilaku kyai ini, baginya, nilai manfaatnya (kolektif) lebih besar dari nilai mudharatnya (individu). 

Misalnya pada kasus lain ada presiden sekaligus kyai nyleneh tetapi cukup disegani di kalangannya. Perilaku presiden ini bahkan sangat nyleneh dan tidak sejalan dengan perundang-undangan yang berlaku karena terpilihnya pun menimbulkan banyak pertanyaan. Tetapi pelajaran pertama yang diberikan presiden yang juga kyai ini pada saat pelantikan kabinet adalah agar para pembantunya itu bersikap jujur dan sederhana. Jika dibahas panjang lebar, makna jujur dan sederhana ini sangat kompleks. 

Pada waktu selanjutnya pesan moral ini kurang diperhatikan oleh para pembantunya. Juga kalangan eksekutif, yudikatif dan para elite politik lain. Pada rakyatnya, presiden yang juga kyai nyleneh ini juga menekankan kemandirian dengan menghapus Departemen Penerangan (Deppen) dan Departemen Sosial (Depsos). Banyak orang bingung. Tetapi bagi sedikit orang yang mengenalnya, mereka mafhum akan perilakunya yang jujur dan sederhana itu, di balik sikap nyleneh-nya. Istana yang semula eksklusif dirubah menjadi istana rakyat. Meskipun ia tidak pantas menjadi presiden karena kapasitas religinya terlalu besar untuk posisi presiden, tetapi Tuhan menghadirkan sejenak sebagai presiden agar menjadi pelajaran bagi umat. 

Banyak kasus lain yang tidak hitam-putih bisa dinilai salah-benar atau baik-buruk atau hak-bathil. Kasus mengurangi timbangan atau merampas hak milik orang sangat mudah menilainya bahwa tindakan itu salah, buruk dan bathil. Tetapi untuk menentukan penghasilan pas bagi seseorang pns maupun swasta sangat sulit. Ada PNS (terlalu) jujur menolak tunjangan yang tidak jelas hukumnya, sementara keluarganya membutuhkan uang untuk biaya hidup. Sedang jika ia korupsi waktu dengan nyambi kerja di luar kantor, ia menyalahi komitmen PNS dan dinilainya berdosa. Serba salah… 

Masalah yang sangat halus memerlukan perasaan yang halus. Untuk mempertajam perasaan menjadi halus dan bisa membedakan yang hak dan yang bathil dan tidak mencampuradukkan, maka latihannya adalah puasa. Salah satu hikmah sederhana puasa adalah dengan lapar, minimal mencium aroma lezat masakan akan bisa ikut merasa kelezatan masakan itu tanpa memakannya. Belum lagi hikmah terdalam yang terkandung dalam puasa. 

Bagi umat Islam, pedoman puasa terdapat pada QS. 2. al-Baqarah 183, 
“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa. 183)” 

Pada ayat selanjutnya hingga ayat 185 disebutkan, “Barangsiapa dengan rela hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya. Dan puasa lebih baik bagimu jika kamu tahu. (Beberapa hari yang ditentukan itu) bulan Ramadhan, bulan di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (yang hak dan bathil)… Tuhan menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Tuhan atas petunjuk-Nya yang diberikan padamu, supaya kamu bersyukur.” 

Menariknya, puasa dalam agama Islam sebagai salah satu bentuk ibadat tidak menjadi ritual religi berlebihan sehingga lupa akan kewajiban keluarga. Misalnya soal hubungan suami istri, “Maka sekarang campuri mereka dan cari apa yang telah ditetapkan Tuhan untukmu dan makan minum hingga terang bagimu benang yang putih dari benang yang hitam yaitu fajar. Lalu sempurnakan puasa itu sampai malam, (tapi) jangan kamu campuri mereka, sedang kamu i'tikaf dalam masjid. Itu larangan Tuhan maka jangan kamu mendekatinya. Demikian Tuhan menerangkan ayat-ayat-Nya pada manusia, supaya mereka bertaqwa. …” (QS. 2:187-188) 

Perkawinan dan rumah tangga tak mengurangi kesucian jika seorang menghendaki penyucian diri. Ayat di atas jelas menentukan ada waktu mencampuri isteri, tetapi ada waktu i’tikaf untuk menyempurnakan puasa. Ada pemilahan kebaikan demi kebaikan dan kewajiban demi kewajiban. Sehingga tidak campur-aduk yang menggeser hukum wajib menjadi haram. 

Inilah keadilan puasa. Ikut merasakan laparnya orang miskin, seimbang dengan kebutuhan suami-istri di dalam rumah tangga, merupakan ibadat keseimbangan antara vertikal maupun horisontal, dan lain-lain hikmah keadilan yang tersembunyi dalam ibadat puasa. Belum lagi puasa sebagai upaya mempertajam bathin untuk peka mengetahui dan garis regresi secara jelas dan tegas membedakan benar-salah, baik-buruk dan hak-bathil. 

Inilah kaitan puasa dengan QS. 2:42 pada kajian ini, ”Dan jangan kau campur-adukkan yang hak dengan bathil dan jangan kau sembunyikan yang hak sedang kamu tahu.” 

Di sinilah letak mencampur-adukkan yang hak dan bathil. Seorang hakim secara hak berfungsi menegakkan keadilan. Tetapi jangan sampai terjadi campur aduk antara yang hak dan yang bathil, misalnya dengan membenarkan yang salah, menyalahkan yang benar untuk tujuan tertentu… atas nama keadilan, “in the name of God” lalu diketukkan palunya. 

Firman Tuhan pada QS. 2. al-Baqarah (Sapi Betina) 43, 
“Dan dirikan shalat, tunaikan zakat dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'.43)” 

Setelah melakukan ibadat puasa secara murni, konsisten, konsekuen; serta merta dibukakanlah secara perlahan dan bertahap pintu-pintu hijab yang membedakan mana yang hak dan yang bathil. Terbukalah pintu-pintu hikmah dan kebenaran hakiki. Keterkaitan dengan ibadah lain, ia semakin mengetahui hikmah dalam sholat, zakat dan ruku akhir ayat 43 di atas. 

Bentuk ibadat yang satu dengan yang lainnya saling menunjang berikut amal saleh dan perbuatan ‘aslama yang harus menyertainya. Ini keluwesan ajaran agama menyelesaikan berbagai kasus-kasus kemasyarakatan. 

Setelah diuraikan keterkaitan puasa, sholat, zakat dan ruku’, berikut ini ibadat puasa berkaitan pula dengan ibadat haji dan umrah, “Sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Tuhan. Jika kamu terkepung (terhalang musuh atau sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat dan jangan kamu cukur kepalamu sebelum korbannya sampai ke tempat penyembelihan. Jika di antaramu sakit atau ada gangguan di kepala (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya fidyah, yaitu: puasa atau sedekah atau berkorban. Jika kamu telah aman, maka barangsiapa yang ingin kerjakan 'umrah sebelum haji (dalam bulan haji), (wajib ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tak mampu), maka ia wajib puasa 3 hari dalam masa haji dan 7 hari jika telah pulang kembali. Itu 10 (hari) sempurna. Demikian itu (kewajiban bayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tak ada (di sekitar) Masjidil Haram (bukan penduduk Mekkah). Dan taqwalah pada Tuhan dan ketahuilah Tuhan sangat keras siksa-Nya.” (QS. 2:196) 

Ibadah puasa juga dilakukan sebagai semacam pengganti “denda” dari beberapa kasus, misalnya pembunuhan karena khilaf, pelanggaran sumpah karena khilaf, dan juga soal zihar, “…jika ia (si terbunuh) dari kaum (ingkar) yang ada perjanjian (damai) antara mereka denganmu maka (si pembunuh) membayar diat diserahkan ke keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa tidak memperolehnya, hendaklah ia (si pembunuh) puasa 2 bulan berturut-turut sebagai taubat pada Tuhan. Dan Tuhan Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS. 4:92-93) 

“Tuhan tidak menghukummu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (sumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan 10 orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kau berikan pada keluargamu, atau beri pakaian pada mereka atau merdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan maka kaffaratnya puasa 3 hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Tuhan menerangkan padamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (pada-Nya).” (QS. 5:89) 

“Orang-orang men-zihar isterinya di antaramu, (menganggap isterinya bagai ibunya, padahal) tiadalah isteri itu ibu-ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanya wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Tuhan Maha Pemaaf dan Pengampun. Orang-orang yang menzihar isteri mereka, lalu mereka hendak menarik kembali yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum suami isteri bercampur. Demikian yang diajarkan padamu, dan Tuhan Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa tidak dapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa 2 bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan 60 orang miskin… Dan itulah hukum-hukum Tuhan, dan bagi orang ingkar ada siksaan amat pedih.” (QS. 58:2-4) 

Suatu pelanggaran yang tidak mengerti ilmu atau hukumnya, atau tidak sengaja karena khilaf, tampaknya sangat mudah penyelesaiannya di dalam agama Islam. Sangat fleksibel menentukan hukumnya. Misalnya satu kasus seseorang yang datang kepada Rasulullah Muhammad. Ia tidak sengaja kecolongan puasa di bulan Ramadhan karena “berkumpul” dengan isterinya. Rasulullah Muhammad memberikan sangsi agar puasa 2 bulan berturut-turut di luar bulan Ramadhan. Orang tadi menyatakan tidak mampu karena kuatir kecolongan lagi. Bulan Ramadhan saja selama 1 bulan kecolongan sekali, ia kuatir puasa 2 bulan akan kecolongan 2 kali lagi. Rasulullah Muhammad menurunkan sangsinya menjadi memberikan makan pada 60 orang miskin. Orang tadi menyatakan tidak sanggup karena ia termasuk miskin. Rasulullah Muhammad pun menurunkan sangsinya dengan memberikan makanan kepadanya agar makanan itu diberikan lagi kepada seorang tetangganya yang paling miskin. Orang tadi menyatakan bahwa ia-lah yang paling miskin. Akhirnya makanan itu diberikan Rasulullah Muhammad kepada orang tadi. Runtutan hukum yang logis. 

Hukum Islam bersifat apa adanya. Tuhan tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya sesuai dengan QS. 2:286. Apa adanya, bukan berarti diada-adakan atau suatu kesengajaan. Karena sangsi Tuhan sangat keras bagi mereka yang sengaja melakukan pelanggaran atau suka mengada-adakan suatu perkara. 

36.2. Puasa di dalam Rukun Islam 

Puasa memang unik filosofinya. Dalam rukun Islam yang lima, yaitu; syahadat, sholat, puasa, zakat, haji; puasa berada di tengah. Sekali lagi sebagai puasa simbol keadilan. Jika syahadat dan sholat sifatnya amat pribadi berhubungan dengan Tuhan, sedang zakat dan haji erat hubungannya dengan muamalah (hubungan kemanusiaan), maka puasa merupakan transisi yang bisa bergerak vertikal maupun horisontal. 

Syahadat adalah pengakuan paling azali dari seorang hamba pada Tuhannya. Kalimat syahadat ini harus dibisikkan oleh hati yang paling dalam, dilafalkan oleh lisan serta dilakukan oleh tindakan. Sholat adalah aplikasi syahadat untuk berdialog dengan Tuhannya. Tauhid (syahadat) dan sholat tidak diberikan Tuhan di bumi, melainkan di alam ruh (syahadat) dan di Sidratul Muntaha (sholat). 

Zakat adalah kepedulian sosial berkaitan dengan ekonomi atau rezeki secara materi. Dari kecukupan rezeki, seorang hamba akan melaksanakan Haji untuk mengenal sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail serta mengenal berbagai manusia dari berbagai bangsa. Perintah zakat dan haji turun setelah bersentuhan peradaban manusia di bumi. 

Puasa, gerakan energinya bisa ke mana-mana. Hikmahnya selain meningkatkan tauhid dan mendekatkan diri pada Tuhan, sekaligus praktis merasakan kelemahan orang-orang yang teraniaya dan merasakan kekuatan Tuhan Yang Mahakuasa. Dari kelemahan fisik menimbulkan kekuatan batin. Perintah puasa diberikan Tuhan kepada Nabi Adam di Surga, dan di bumi pada Nabi Musa, Nabi Daud dan Rasul-rasul lainnya termasuk kepada Rasulullah Muhammad dan juga kepada Siti Maryam ketika mengandung Nabi Isa. 

Puasa menghendaki kejujuran menghindari kemunafikan diri, seperti: “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu baca al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir?” (QS. 2:44) 

Dengan puasa, sedikit demi sedikit ia berusaha mengikis sifat munafik. Meskipun kemunafikan sifatnya sangat halus, dengan puasa khusyu’ ia akan merasakan kehalusan yang hak maupun yang bathil seperti sifat munafik. Ia akan bisa membedakannya. 

Puasa juga sebagai latihan sabar yang baik, sebab sikap sabar ternyata tidak semuanya baik. Banyak orang awam mengidentikkan sabar sebagai sikap pasrah apa adanya tanpa usaha terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya atau keluarganya. Ini contoh sabar yang tidak baik. 

Firman Tuhan pada QS. 70. al Ma’aarij (Tempat-Tempat Naik) 5: “Maka sabarlah kamu dengan sabar yang baik.” Ini menunjukkan bahwa ada sabar yang tidak baik. Sikap ini yang harus dibenahi. Di dalam puasa tercermin sikap sabar menghadapi segala permasalahan, tetapi harus tegas mempertahankan pendirian yang haq. 

“Jadikan sabar dan shalat sebagai penolongmu dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', 45)” 

Dengan puasa juga upaya pelatihan sabar menunggu waktu berbuka selama subuh hingga maghrib. Tata cara puasa, begitu pula sholat, di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci. Tuhan memberi kesempatan hamba-hamba-Nya berkreasi mengatur tata cara puasa dan sholat. Bagi umat Islam, tata cara puasa dan sholat seperti dicontohkan Rasulullah Muhammad . 

Sabar dan sholat memang penolong yang paling afdol. Dengan sabar yang benar akan meningkatkan ketaqwaan dan berserah diri kepada Tuhan. Dengan sholat merupakan ikhtiar bermunajat pada Tuhan. Kedua ibadat itu termasuk yang berat kecuali bagi orang-orang khusyu’. 

Triangle sabar-sholat-puasa adalah tritunggal yang sangat terkait erat. Dengan puasa akan sangat membantu kekhusyu’an sholat dan membantu meningkatkan kesabaran yang benar. 

36.3. Macam-macam Puasa 

Umat agama samawi pasti mempunyai ajaran puasa. Dari sisi menahan lapar-dahaga, puasa mempunyai banyak ragamnya. Belum puasa plus yang disertai dengan pati-geni, mutih, vegetarian, puasa diam dan lain-lain. 

Ibadat puasa mempunyai nilai sangat tinggi. Rasulullah Muhammad dalam meriwayatkan Hadits Qudsi menyatakan bahwa Tuhan berfirman: “Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya pribadi, kecuali shaum. Ash shaumu lii wa anaa ajzii bihi; Sesungguhnya puasa untuk-Ku karena itu Akulah yang langsung membalasnya. Shaum itu ibarat perisai. Pada hari melaksanakan shaum, janganlah yang bershaum mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar dan jangan pula ribut hingar-bingar bertengkar, jika diantara kalian memakinya atau mengajak berkelahi, hendaknya katakan padanya: Saya sedang bershaum". Selanjutnya sabda Nabi Muhammad, "Demi Tuhan yang diri Muhammad dalam kekuasan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang bershaum lebih wangi di sisi Tuhan. Satu kebajikan (digandakan) sepuluh dan akan Kutambah dan satu kejahatan akan Kuhapuskan. Shaum itu untuk-Ku dan kepunyaan-Ku dan Aku sendirilah yang akan membalasnya dan shaum penghalang dan perisai dari siksa Tuhan, bagai tameng senjata dari serangan pedang” (HQR Baghawi). 

Bagi umat Islam yang ingin menambah puasa sebagai latihan batin dan memantapkannya pada bulan Ramadahan, banyak riwayat memberikan puasa sunnah, (1) Senin Kamis, (2) Tiga hari pertengahan bulan Qomariyah, (3) Puasa Nabi Daud, (4) Beberapa hari bulan Muharam, Rajab, Sya’ban, Ramadhan. Sabda Nabi, “Inna rajaba syahrullaahi, wa sya’baana syahrii, wa ramadhaana syahru ummatii; Sesungguhnya Rajab bulan Tuhan, Sya’ban bulanku, Ramadhan bulan umatku.” Hadits lain meriwayatkan, kata Aisyah Ra: “Nabi Muhammad bersabda, “Semua manusia akan lapar di hari kiamat kecuali nabi, keluarganya dan orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, maka sungguh tiada rasa lapar dan rasa haus bagi mereka.” (Zubdztul Waa’izdiina), (5) Puasa 6 hari di bulan Syawal, dan (6) Puasa 3, 7, 40 hari; dan lain-lain “misi” sesuai kerangka tauhid. 

Khusus pembahasan puasa sunnah pada point ke-6 adalah: 

Puasa 3 hari mempunyai filosofi untuk membersihkan ketiga unsur yang terdapat di dalam diri manusia sendiri, yakni: (1) Hari pertama puasa membersihkan atau mensucikan jasad, fisik, jasmaniah pada hari pertama, (2) Hari kedua puasa mensucikan alam pikiran, menjaga panca indera, dan (3) Hari ketiga puasa menjaga kebersihan hati dan kepekaan batin. 

Puasa 7 hari mempunyai filosofi untuk mensucikan dirinya selama hari-hari dalam setiap minggunya yang berjumlah 7. Dengan berpuasa 7 hari diharapkan mewakili pada setiap hari agar ia mengingatnya ketika ia puasa pada hari-hari tersebut. 

Puasa 40 hari mempunyai filosofi mengacu bulan Muhharam, di mana pada bulan itu merupakan bulan keprihatinan umat Islam terutama 10 Muharam 61 H saat di Karbala terjadi pembantaian oleh Bani Umayyah terhadap keluarga Ali bin Abi Thalib. Selain itu bulan Muharam sebagai awal bulan pada kalender Qomariyah diharapkan mampu mewakili setiap bulannya agar ia senantiasa ingat akan puasanya di bulan Muharam. Sementara tambahan puasa 10 hari sesudahnya merupakan simbol penyempurnaan dan koreksi atas puasanya selama bulan Muharam. 

Tatanan puasa pada point ke-6 bisa dipastikan tidak ada pada zaman Nabi Muhammad. Tetapi hal ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada atau bid’ah. Dengan pertimbangan tauhid bahwa betapa kotornya seorang hamba dan merasa tidak cukup puasa seperti dianjurkan Rasulullah Muhammad dan ia menambahkannya menurut filosofi dan logika akal sehatnya. Selama tujuannya tetap terikat pada tauhid, puasanya tetap sah-sah saja karena tidak menyimpang dari al-Qur’an, karena tujuannya tetap kepada taqwa. 

Pada zaman Rasulullah Muhammad puasanya tidak seperti puasanya Nabi Daud (sehari puasa sehari berbuka). Tetapi dengan arif Rasulullah menilai sebaik-baik puasa adalah puasanya Nabi Daud. Dan zaman sekarang mulai banyak orang menjalankan puasa sunnah Nabi Daud. 

Prinsip puasa sunnah adalah paham ilmunya, tidak keluar dari tauhid dan tidak memberatkan atau mengganggu kesehatan bagi yang melakukan. Puasa Nabi Daud sangat baik, sekaligus sangat berat, tetapi bagi yang mampu tidak ada larangan baginya. 

36.4. Tingkatan Puasa 

Selain bermacam-macam puasa sebagai salah satu peribadatan dan upaya batin mendekatkan diri pada Sang Khaliq, satu macam puasa saja mempunyai tingkatan yang sesuai dengan maqam seseorang. Mereka yang memahami dan menghayati ilmu puasa, nilai puasanya pasti lain dengan mereka yang seekedar puasa menahan lapar-dahaga. 

Puasa dalam bahasa Arab terdapat dua kata shiyam dan shawm. Kata shiyam disebutkan sebanyak 12 kali di dalam al-Qur’an, yaitu pada (1) QS. 2:183, (2) QS. 22:184, (3 & 4) QS. 2:187, (5 & 6) QS. 2:196, (7) QS. 4:92, (8) QS. 5:89, (9) QS. 5:95, (10) QS. 33:35, (11) QS. 58:4 dan (12) QS. 66:5. Sedangkan kata shawm “hanya” disebut 1 kali dan terdapat pada Firman Tuhan QS. 19 Maryam 26, yaitu : 
“Makan, minum dan tenangkanlah hatimu. Jika kamu melihat manusia, katakan: "Sesungguhnya aku telah bernazar puasa untuk yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini 26)". 

Keistimewaan shawm (khusus) yang dilakukan oleh Siti Maryam adalah puasa yang tak sekedar menahan makan dan minum seperti shiyam (umum), bahkan pada ayat di atas disebutkan di dalam kondisi makan dan minum. Tetapi shawm lebih meningkat tidak berbicara dengan seorangpun pada waktu-waktu tertentu. Dengan dalil ini para ahli puasa mengembangkan puasa macam-macam seperti diuraikan sub-kajian macam-macam puasa. Tingkatan ini bagi para ulama sufi lebih dikembangkan menjadi ke arah puasa khususul khusus. 

Secara sistematik, tingkatan puasa dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: (1) Puasa Umum, (2) Puasa Khusus dan (3) Puasa Khususul Khusus. 

Pertama, puasa umum dilakukan kebanyakan orang awam yang hanya puasa bulan Ramadhan mengacu QS. 22. al-Baqarah 183-188, itupun puasanya sekedar puasa menahan lapar-dahaga. Dan puasa yang hanya menahan lapar-dahaga dari sejak subuh hingga maghrib diingatkan oleh Rasulullah Muhammad, bahwa “Banyak orang berpuasa yang dari puasanya ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.” 

Kedua, puasa khusus yang paling menjadi acuan dalam al-Quran adalah QS. 19. Maryam 26. Tetapi jika lebih dinalar lagi tidak sekedar puasa dari berbicara, tetapi puasanya sudah menjaga kelima panca indera. Pada hadits Syafiyah, “Sesungguhnya setan berjalan pada anak Adam (manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalannya itu dengan lapar (puasa).” Dari indera mata, telinga, hidung, bibir atau lidah dan kulit akan timbul pandangan, pendengaran, penciuman, pembicaraan dan persentuhan, memberi stimuli yang melibatkan aliran darah sebagai jalannya setan dan berpotensi mengganggu puasanya. Puasa panca indera akan menjaganya dari pandangan, pendengaran, penciuman, pembicaraan dan persentuhan yang tidak diridhoi Tuhan. Ia juga menjaga seluruh anggota badannya dari perbuatan subhat dengan puasa khusus itu. Ia mengganti jalannya darah yang diharapkan dikuasai oleh malaikat yang membisikkan Cinta Ilahi melalui puasa menjaga panca indera. 

Ketiga, puasa khususul khusus sudah memasuki puasa hati, menjaga batin dan jiwa dari bisikan setan yang mengajak riya’, iri, dengki, sombong, takabur dan hawa nafsu lain yang tidak diridhoi Tuhan. Para sufi menyukai puasa ini sebagai latihan puncak untuk mencapai maqam lebih mulia dengan menerapkan zuhud, wara’, qonaah, istiqomah, khauf dan lain-lain perilaku berserah diri pada Tuhannya (‘aslama). 

Hakikat puasa yang berkembang sedemikian rupa hendaknya tidak dibenturkan pada bid’ah atau menuduh mengada-adakan suatu amal ibadat di luar ketentuan Rasulullah Muhammad. Atau menuduh mengaburkan tafsir QS. 19. Maryam 26 sebagai salah satu tafsir dari ayat mutasyabihat yang menjebak dan menyesatkan. Dua “pagar”, yakni bid’ah dan mutasyabihat, jika dicerna secara sempit justru akan mengungkung umat Islam pada kesempitan berpikir dan kepicikan nalar. 

Kekayaan khasanah puasa di dalam Islam justru menambah nilai puasa wajibnya di bulan Ramadhan. Semua puasa sunnah yang dilakukannya – sekali lagi selama masih pada batas-batas tauhid – akan dikembalikannya pada peningkatan nilai puasa wajib. Sehingga diharapkan akan semakin menyempurnakannya fitrah dirinya nanti pada 1 Syawal sebagai Hari Raya Idul Fitri bagi mereka yang baik nilai puasa Ramadhannya. 

Upaya peningkatan demi peningkatan nilai puasa wajib melalui beragam puasa sunnah diharapkan seorang hamba agar ia bersih dan menjadi relatif suci kembali ketika akan menghadap Tuhannya. Ini bersesuaian dengan tafsir QS. 2. al-Baqarah (Sapi Betina) 46 di awal kajian ini yaitu, “(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya dan bahwa mereka akan kembali pada-Nya.” Dari sekian banyak latihan puasanya, baik yang wajib maupun sunnah, jika nilai puasanya relatif mendekati kesempurnaan, maka disebutkan dalam HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, “Kebahagiaan orang berpuasa adalah kesenangan pada saat ia berbuka dan kesenangan pada saat bertemu dengan Tuhannya.”
=======================================================================

Kajian 7: Merasakan Zikirullah

Pengantar Blog:

Mengingat Tuhan (istilah Arabnya zikirullah) adalah hak dan kewajiban semua agama samawi - dengan berbagi metoda dan cara yang disesuaikan dengan zaman dan lingkungan budaya setempat - tanpa mengurangi kekhidmatan, kekhusyu'an serta nilai hakiki dari zikirullah tersebut. Mengapa perlu mengingatkan kembali kepada zikirullah? Karena sudah terlalu banyak manusia saat ini "lupa diri" sehingga serta merta mereka "melupakan Tuhannya".

Esensi mengingat Tuhan bukan sekedar di mulut hingga penampilan yang serba "agamis", namun masih sangat tampak kental hijab-hijab yang menghalanginya. Sehingga kajian ini benar-benar ingin mengembalikan manusia kepada fitrahnya untuk zikirullah mulai dari lisan, pikiran, penampilan hingga perilaku dan gaya hidupnya...
***


Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi: 
dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. 189) 

Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, 
dan silih bergantinya malam dan siang, 
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, 190) 

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah 
sambil berdiri, duduk atau berbaring
dan mereka pikirkan penciptaan langit dan bumi (dan berkata): 
"Ya Tuhan kami, 
tiada Engkau menciptakan ini dengan sia-sia
Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka. 191) 

Ya Tuhan kami, 
sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, 
maka sungguh telah Engkau hinakan ia, 
dan tiadalah bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. 192) 

Ya Tuhan kami, 
sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman: 
(yaitu) “Imanlah kamu pada Tuhanmu" maka kami beriman. 
Ya Tuhan kami, 
ampuni dosa kami dan hapuskan kesalahan kami 
dan wafatkan kami beserta orang-orang yang berbakti. 193) 

Ya Tuhan kami, 
berilah kepada kami 
apa yang telah Engkau janjikan pada kami 
dengan perantara rasul-rasul Engkau 
dan jangan Engkau hinakan kami di hari kiamat 
Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji". 194) 

QS. 3. Ali-‘Imran (Keluarga ‘Imran) 189-194 


BANYAK ayat al-Qur’an berbunyi; ”Kepunyaan Allah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Meskipun itu diulang berkali-kali, tetapi masih banyak yang kurang memperhatikannya, apalagi mengingatkannya kepada Sang Maha Pencipta langit dan bumi itu. 

7.1. Ingat Tuhan dalam Keadaan Apapun 

Ayat di atas dilanjutkan usaha ingat Tuhan (zikirullah) dalam keadaan apapun; “…(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring dan mereka pikirkan soal penciptaan langit dan bumi…”. Makna dari kata berdiri, duduk, berbaring bisa ditafsirkan menjadi beberapa kondisi atau keadaan, yaitu: (1) bekerja, istirahat, tidur; dan (2) perubahan fase remaja-dewasa, dewasa-tua, tua-mati. 

Pada saat mengingat Tuhan dalam keadaan apapun, substansi seruan “imanlah kamu pada Allah” akan dijawab tegas oleh orang-orang beriman “kami beriman” dengan segala konsekuensinya. 

Mengingat Tuhan bukan hanya komat-kamit zikir di bibir atau berhenti pada pemahaman ilmiah berdasarkan penalaran logika. Mengingat Tuhan atau zikirullah harus seirama dengan konsekuensi beragama yang seutuhnya atau kaffah, yaitu harus melibatkan seluruh potensi diri dan niat untuk menyesuaikan diri dengan Kehendak Tuhan. 

Para ahli zikir yang telah biasa dengan “gerakan” zikirnya, di dalam setiap gerakannya dan segala sesuatu yang ada di depan matanya senantiasa mengingatkannya kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. 

7.2. Tuhan pun akan Ingat 

Konsekuensi mengingat Tuhan di dalam keadaan apa pun adalah Tuhan juga akan mengingatnya. Inilah keseimbangan Tuhan dengan hamba-Nya, sebagaimana hadist qudsi yang menjelaskan bahwa definisi “Tuhan” itu tergantung pada pemahaman hamba-hamba-Nya. Selain itu ada ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan takkan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak merubahnya. Ini isyarat kedekatan Tuhan dengan hamba-hamba-Nya. 

Tuhan berfirman dalam hadits qudsi: 
“Wahai anak-anak Adam, apabila engkau ingat pada-Ku dalam keadaan sunyi sepi, Aku akan ingat kepadamu dalam keadaan sunyi sepi. Dan apabila engkau ingat pada-Ku di khalayak ramai, Aku akan ingat pula keadaanmu di tengah khalayak ramai yang lebih baik dari tempat engkau ingat kepada-Ku” (HQR. Bazzar, sumber dari Ibnu Abbas r.a.) 

Firman Tuhan pada QS. 2. al-Baqarah (Sapi Betina) 152, 
“Karena itu, ingatlah kamu pada-Ku niscaya Aku ingat padamu dan bersyukurlah pada-Ku dan jangan kamu mengingkari-Ku. 152)” 

Firman Tuhan pada QS. 14. Ibrahim 7, 
Dan (ingat juga), takala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) padamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. 7)

Berkaitan dengan ayat-ayat tersebut akan muncul negasi awam yang mempertanyakan apakah Tuhan juga tertimpa sifat kelupaan? Karena jika manusia tidak ingat Tuhannya, maka Tuhan pun tidak ingat hamba-Nya. Negasi yang muncul itu akibat manusia telah mencampuradukkan wilayah kemanusiaan dengan ketuhanan. 

7.3. Beberapa Upaya Praktis 

Sebenarnya manusia yang telah menyadari keberadaan dirinya di tengah alam semesta, ia juga secara otomatis (seharusnya) menyadari keberadaan Tuhannya. Karena, tidak mungkin ia berada di suatu tempat jika tidak ada yang menempatkannya di sana. Karena, tidak mungkin ia mengembangkan kreasinya jika tidak ada yang memberinya imajinasi… 

Mereka yang diperkenankan mengenal atau ma’rifat kepada Tuhannya, oleh Tuhannya, maka aktifitas sehari-harinya pasti bisa merasakan kehadiran Tuhannya melalui ciptaan-Nya yang sarat di depan matanya. Beberapa usaha merasakan kehadiran Tuhan melalui zikirullah ternyata sangat dekat dengan aktifitas sehari-hari. Misalnya: 

Pertama, seorang Salik mengendarai mobil, hati-lidah-bibir berzikir dan tangan kiri memutar tasbih dan mengatur persneling, tangan kanan mengendalikan setir. Suara car-audio melantunkan musik softly. Dengan konsentrasi cukup, dua kegiatan menyetir dan berzikir bisa dilakukannya. “Yaa Allah, Yaa Rahmaan, Yaa Rahiim, Yaa Lathiif, Yaa Shobur….” dan seterusnya sambil melajukan mobil di antara padatnya lalu-lintas kota. Kemacetan tidak membuatnya stres karena semakin memberi kesempatan konsentrasi pada zikir. Hangatnya sinar matahari pagi menjelang siang itu masuk melalui kaca mobil dan menyentuh kulitnya, matahari “menyapa”. Tetapi yang dirasakan adalah Tuhan “menyapanya” melalui matahari-Nya. Kwanta sinar matahari meresap masuk melalui pori-porinya. Bulu kuduk berdiri merasa kedekatan Tuhan melalui sengatan hangat matahari-Nya. Ia berucap pelan, "..Ya Tuhan kami, tiada Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, peliharalah kami dari siksaan neraka. 191) Tuhan ternyata tidak segan-segan “menghangatkan dirinya” melalui ciptaan-Nya. 

Kedua, zikirullah tak harus dilakukan dalam masjid yang suci ataupun di atas sajadah yang bersih. Zikirullah bisa pula dilakukan di mana saja bahkan di tempat (maaf) lokalisasi pelacuran-perjudian. Suatu ketika si Salik sedang berjalan-jalan di malam hari, di kawasan lokalisasi yang gemerlap. Di balik etalase rumah bordil yang remang-remang dibisingkan house music hingar bingar, duduklah beragam pilihan pelacur dengan segala dandanan. Beberapa tamu pria tampak setengah mabuk karena meneguk bir. Mereka kelihatannya mengobrol atau sedang bertransaksi. Si Salik yang sedang berkhalwat itu menerima pelajaran berat di tempat sesat seraya ia berzikir, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia dan tiada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun. 192)” 

Ketiga, suatu saat si Salik mengantar jenazah sohib yang meninggal. Hujan turun. Tetes air hujan menyentuh kulit terasa dingin. Tetapi baginya tetesan air hujan itu manifestasi Tuhan menyapa dirinya melalui hujan-Nya, “Yaa Allah, Yaa Muhyi, Yaa Mumiit…”. Ia dan rombongan pengiring jenazah melaksanakan penguburan jenazah. Setelah itu terdengar suara azan memanggil, ia pun berucap; “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru pada iman (yaitu): “Imanlah kamu pada Tuhanmu" maka kami beriman…” Lalu itu ia berucap; “Ya Tuhan kami, ampuni dosa kami dan hapuskan kesalahan kami dan wafatkan kami beserta orang-orang yang berbakti. 193) Kemudian ia sholat di suatu masjid dan i’tikaf sebentar di sana. 

Keempat, ketika si Salik sedang bersholawat kepada Nabi Muhammad, ia pun mengingat, merenungkan dan merasakan sifat-sifat dan kehidupan Nabi Muhammad yang santun, sabar, ikhlas pada umatnya. Jika sholawat dilakukan dengan khusyu’ akan mengantarnya kepada kedekatan dengan Nur Muhammad-nya. Jika bertambah khusyu’, tak menutup kemungkinan ia akan menangis karena rindunya pada rasulnya itu. Lalu ia melantunkan lagu Bimbo, “Rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada terperi. Berapa jarak denganmu ya Rasul… Seakan engkau di sini…” lantas Muhammad ‘memeluk’nya dengan penuh kasih sayang kepada umatnya yang sedang bersholawat itu, dan si Salik pun menangis haru. 

Keempat fenomena di atas merupakan contoh zikirullah yang bisa dirasakan pada realitas sehari-hari. Tentu masih banyak realita lain yang oleh masing-masing orang pasti berbeda dimensi ruang, waktu dan pengalaman empirik yang dialaminya. 

Sebagai perantara yang memperkenalkan hakikat tuhan, Allah Swt dan Tauhid Islam kepada umatnya, Rasulullah Muhammad menjadi panutan bagi umat Islam karena figurnya yang benar-benar sempurna, baik dari sisi pemikiran, aqidah, lisan, pola hidup, keluarga dan lain-lain. Seraya umatnya berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kepada kami apa yang telah Engkau janjikan pada kami dengan perantara rasul-rasul Engkau dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji 194)"

7.4. Prosesi Zikir: dari Absorbsi ke Iluminasi 

Orang yang mendalami ilmu agama mempunyai kepekaan zikir yang masuk dari luar tubuhnya melalui jendela inderawi yang dilafalkan lisan, diresapi jiwa dan dimantapkan hati. Pada awalnya ia pasti membutuhkan buku, guru dan petunjuk lain. Dengan kata lain, ia masih pada tahap proses penyerapan ilmu. Tetapi jika ia telah menyadari dan menyerap energi zikir atau ilmu, maka ia pun harus bercahaya menurut hukum alam, seperti halnya eksperimen ilmiah soal pemagnetan antara besi oleh magnet di mana besi akan menjadi magnet; atau kasus ilmiah lain yaitu pencahayaan besi oleh api di mana besi akan membara dan bercahaya. 

Beberapa tahapan zikir bisa dirangkumkan sebagai berikut: 

Tabel 1. Prosesi Zikir 

Zikir tidak mutlak dilantunkan dalam bahasa Arab. Tetapi awalnya, mau tidak mau harus mempelajari dari sumbernya yaitu al-Qur’an yang diturunkan di Arab dan berbahasa Arab, karena maknanya memang dalam. Pada tahap selanjutnya, apresiasi bahasa Arab bisa ditransformasikan dalam bahasa setempat. Proses da’wah yang melibatkan bahasa dan budaya lokal pernah diterapkan Wali Songo, yaitu Sunan Kalijogo, ketika melantunkan tembang Ilir-Ilir dan kemampuannya berkesenian gamelan untuk menunjang da’wahnya di Tanah Jawa. 

Ketika manusia suatu saat telah mengalami ‘kejenuhan hidup’, maka mereka berusaha mencari sarana yang bisa menenangkan jiwa, menyejukkan pikiran serta menyenangkan dan menenteramkan hati. Banyak manusia posmodernis mengukur segala kebahagiaannya dari sisi materi. Dengan banyak uang seakan ia mampu membeli segala bentuk hiburan-rekreasi untuk mengatasi ‘kejenuhan hidup’. Tetapi ketika mereka tidak menemukan kedamaian dan kebenaran hakiki di sana, maka ia beralih ke sisi immateri. 

7.5. Konsekuensi Zikirullah 

Banyak pengajian tasawuf modern mulai merambah masyarakat kota, baik di kalangan pejabat, penguasa, pengusaha dan selebritis untuk mencoba mengenal dunia sufistik. Upaya itu sangat baik dan sah saja. Tetapi selama mereka masih bersentuhan dominan dengan dunia materialis, mereka masih belum bisa merasakan nikmatnya zikir dan tenteramnya batin (hati) di dalam kelompok pengajian tasawuf. 

Setiap individu harus mendalami materi pengajiannya, apalagi tasawuf, yang sesuai kemampuannya. Di dalam al-Qur’an tersedia ayat-demi-ayat sesuai kemauan dan kemampuannya. Kitab al-Qur’an sebagai Petunjuk dari Tuhan memang terbukti mu’jizat dari Tuhan bagi hamba-hamba-Nya yang mau mengkajinya secara teliti. Misalnya menyangkut konsekuensi zikirullah oleh para pelaku zikir (muzzakkir). 

Firman Tuhan pada QS. 13. ar-Ra’d (Guruh) 28, 
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka akan menjadi tenteram dengan mengingat Allah (zikirullah). Ingat, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. 28)” 

Zikir akan membawa implikasi ketenangan dan ketenteraman batin yang tidak bisa dijelaskan kata-kata. Masing-masing orang akan merasakan ketenangan dan ketenteraman yang berbeda tergantung apa yang dizikirkan dan karakter yang bersangkutan. Pemisalan kenikmatan merasakan zikir diibaratkan seperti buah-buahan yang masing-masing mengandung vitamin, atau seperti berbagai macam obat dan jamu dengan khasiat masing-masing. 

Bisa jadi, kondisi yang demikian nikmat tersebut dikategorikan sebagai suatu keghoiban karena orang lain tidak atau belum bisa mengetahui dan merasakan kenikmatannya. 

Beberapa tarekat mempunyai amalan zikir yang berbeda-beda. Hal itu amat memungkinkan karena pengalaman guru spiritual atau mursyid mereka yang berbeda-beda pula. Perbedaan ini hendaknya menjadi koleksi kekayaan mistikisme spiritual, bukan untuk diperdebatan di dalam seminar apalagi dipertentangkan menjadi konfrontasi antar kelompok. 

Munculnya dugaan aliran sesat akan mudah dideteksi jika kelompok itu tidak bisa menerima keberbedaan, mengajar sesuatu di luar norma etika dan susila serta memicu keresahan masyarakat. Apa pun ajaran kelompok dalam frame holistik tauhid, mereka harus menebarkan kasih sayang kedamaian dan keselamatan bagi apapun dan siapapun. Itulah ciri kebenaran agama yang “berserah diri pada Tuhannya”. 

Perbedaan zikir menyangkut bacaan dan jumlahnya, jawabannya adalah Firman Tuhan QS. 33. al-Ahzab (Golongan yang Bersekutu) 41-44, 
“Hai orang-orang yang beriman, zikir (mengingat, menyebut nama) Allah, zikir sebanyak-banyaknya. 41) Dan bertasbih pada-Nya di pagi dan petang. 42) Dia memberi rahmat padamu dan malaikat-Nya (mohonkan ampun untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan Dia yang Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. 43) Salam penghormatan kepada mereka pada hari mereka menemui-Nya ialah: "Salam" dan Dia menyediakan pahala mulia bagi mereka. 44)” 

Telah jelas petunjuk ayat tersebut bahwa zikirullah sebenarnya tidak dibatasi, baik menyangkut jenis bacaan, jumlah bacaan hingga waktu untuk prosesi berzikir. Semuanya senantiasa tergantung kemauan, kemampuan dan kesempatan yang bersangkutan. Dengan cara-cara yang berbeda tetapi hakikatnya tetap sama, Tuhan pun mempunyai cara-cara berbeda di dalam mengeluarkan hamba-Nya dari kegelapan menuju cahaya-Nya. 

Merasakan zikirullah secara bertahap membuka misteri tabir demi tabir, hijab demi hijab yang menutupi hakikat hidup sebenarnya. Kesenangan semu dari masing-masing hawa nafsu yang tidak diridhoi Tuhan, perlahan namun pasti akan tersingkap sedikit demi sedikit. Pada waktu tertentu, yang dikehendaki Tuhan bagi hamba-Nya yang saleh, akan ditampakkan wujud asli kehidupan hakikinya. Pada waktu itulah masa pencerahan telah tiba. Ia telah mencapai inti-inti kebijakan kehidupan. 


Puisi 7.
Jangan Tanya Jika… 

Pertanyaan akan menghasilkan pertanyaan lagi 
Adapun jawaban hanyalah bakal pertanyaan kemudian 

"…Janganlah kamu tanya suatu hal yang jika diterangkan padamu, 
niscaya akan menyusahkanmu. 
Dan jika kamu tanya di waktu al-Qur’an diturunkan 
niscaya akan diterangkan kepadamu…” 
(QS. 5:101) 

Walaupun demikian,kadang kala… 
orang yang bertanya itu… 
dan orang yang menjawab itu… 
pura-pura tidak tahu, 
atau berlagak sok tahu… 

Bandung, 28.02.2004 
(Sabtu, 7 Muharram 1425 H, 17.21 WIB, hari ke-7)
========================================================================

Jumat, 27 Januari 2012

Masjid dan Tasawuf


Abdul Qodir Jaelani
PANDANGAN kaum spiritualis Islam, pelaku tarekat, atau kaum sufi terhadap masjid memiliki pemahaman dan penghayatan yang jauh lebih luas dari pada masyarakat pada umumnya. Mereka mafhum bahwa masjid itu adalah bangunan tempat ibadah (sholat) bagi umat Islam. Bahkan sejak zaman Nabi Saw, masjid dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Pemanfaatan masjid sebagai pusat kegiatan umat secara umum. Pendidikan keagamaan waktu itu meliputi seluruh disiplin ilmu, dilakukan di masjid. Tokoh-tokoh besar mulai dari Syech Abdul Qodir Jaelani (konon gurunya para sufi), hujjatul Islam Imam al-Ghozali, Jallaluddin Rumi hingga perjuangan para Walisongo terutama Sunan Kalijogo di Tanah Jawa senantiasa menempatkan masjid sebagai sentral kegiatan umat. Namun secara pribadi pun, masjid juga dimanfaatkan sebagai tempat i'tikaf. Seorang salik bisa dipastikan bertandang ke masjid selama dalam perjalanannya. Bisa jadi, baginya, masjid adalah "mahluk" yang senantiasa setia menyertai dan mengiringi sepanjang perjalanannya untuk "berteduh" raga dan jiwanya.

Imam al-Ghozali
Bagi hujjatul Islam seperti Imam al-Ghozali - di mana salah satu kegiatannya adalah menulis. Masjid adalah pusat inspirasi batin yang mampu dituangkannya secara jernih dalam bentuk tulisan-tulisannya rasional - termasuk pembahasan tasawuf yang bisa dijelaskannya dengan gamblang.

Menurut analisa saya, beberapa substansi tulisan al-Ghozali senantiasa menyandingkan keterpaduan antara raga-jiwa, jasad-ruh, materi-immateri, fisik-metafisik sehingga menimbulkan suatu sistem keseimbangan. Demikian pula halnya dengan masjid, ada yang bersifat dualisme seperti tersebut di atas. Masjid bisa jadi sebagai raga, jasad, materi dan fisik bangunannya; namun masjid bisa jadi sebagai jiwa, ruh, immateri dan metafisik energinya. Masjid yang dimakmurkan dengan doa-doa khusyu' bagi yang beribadah dan beri'tikaf di dalamnya, malam-malam "diramaikan" dengan tahajjud dan mudzakarah hingga bercucuran air mata menyesali dosa atas dirinya yang khilaf maupun sengaja; maka masjid itu pun akan mengimbangi hamba-hamba Allah yang memakmurkannya dengan niat suci membersihkan diri dan jiwanya di masjid itu. 
Tarian Sufi Rumi
Jallaluddin Rumi

Selain al-Ghozali - dari sekian banyak tokoh sufi lainnya yang tercatat maupun tidak - ada satu contoh lagi keluasan imajinasi seperti ditampilkan oleh Jalalluddin Rumi dengan tarian sufinya yang terkenal itu. Gerak rotasi yang stabil-dinamis tersebut memerlukan konsentrasi tinggi dari penarinya. Ini pun bisa jadi "kreatifitas" Rumi dalam mengejawantahkan bentuk zikirnya. Bagi kalangan sufi, ritual zikir secara formal duduk bersimpuh / bersila dengan atau tanpa tasbih; wirid sebanyak-banyaknya; dengan gerakan kepala atau diam sama sekali. Semuanya sah-sah saja selama ditujukan kepada Sang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahaesa, Allah Swt. Yang jauh lebih penting adalah mengembalikan azas kemanfaatan manusia - apalagi para salik - bagi manusia lain dan alam sekitarnya. Sudahkah eksistensinya membawa manfaat atau keberkahan bagi yang lain?

Sementara itu, masjid dalam arti khusus adalah "tempat bersujud" bukan dalam arti bangunan raga, jasad, materi dan fisik. Di mana pun seseorang, pelaku tarekat, para salik dan kaum sufi bisa bersujud - baik secara ragawi maupun secara hati. Di mana pun!

Maka di situlah makna sejatinya masjid.

Contoh histori real adalah ketika Sunan Bonang memberi "pelajaran pertama" pada Raden Sahid untuk menjaga tongkat Sunan Bonang di pinggir kali. Kisah legenda ini banyak pro-kontra sebagaimana saya mencoba browsing di internet sebagai berikut (di antaranya):

Kebebasan berpikir, menulis hingga berpendapat dalam bentuk apa pun telah mencapai puncak kecanggihan teknologi, misalnya melalui media maya seperti ini. Seluas apa pun tinjauannya, orisinil maupun imitasi dengan berbagai polesan di sana-sini, betapa pun kembali kepada diri sendiri sesuai kemampuan "absorbsi-illuminasi" yang dimiliki.

Namun secara pribadi dengan bekal apa yang ada pada diri yang fakir ini, saya yakin bahwa kisah kepatuhan Raden Sahid menjaga tongkat Sunan Bonang sebagai wujud baktinya seorang murid kepada gurunya yang jauh lebih waskita. Banyak sekali metoda yang diberikan oleh seorang mursyid pada santrinya dengan caranya masing-masing tergantung bakat santrinya. Bahkan pada tingkatan "paling misterius" semisal Nabi Khidr memberi pelajaran kepada Nabi Musa yang sulit diterima oleh Nabi Musa. Siapakah gurunya Nabi Khidr? Apakah Allah Swt bisa kita "perlakukan" sebagai Sang Mahaguru sehingga turunnya ilmu laduni dari Tuhan bisa langsung tanpa perantara? (Periksa Buku "Bacalah..." Kajian 16: Berguru tanpa Guru, Berbuku tanpa Buku). Apakah bisa ilmu laduni itu diperoleh melalui puasa dengan berbagai tingkatan puasa? (Periksa Buku "Bacalah..." Kajian 36: Makna Puasa). "Innama 'amruhu idzaa 'aradasyai'an, 'an yaquula lahu kun fayakun"

Demikianlah ilmu dan laku yang dilaksanakan Raden Sahid yang menjadi Sunan Kalijogo. Kekhasan Sunan Kalijogo sebagai satu-satunya waliyullah berdarah Jawa, membuatnya dipercaya oleh para wali lainnya untuk menyelesaikan "perselisihan paham" dengan Syech Siti Jenar. Kisah ini pun banyak versi sehingga kurang tepat disajikan atau diperdebatkan di sini.

Yang perlu digaris-bawahi ketika para nabi, sahabat, para wali dan kaum spiritualis lainnya beri'tikaf - misalnya ketika Nabi Saw uzlah atau berkhalwat di Gua Hira' menjelang fase kenabiannya - adalah sesuatu kebutuhan mutlak bagi para "pencari Tuhan". Di kalangan orang Jawa, meditasi atau tapa brata ini sudah lazim. Begitu juga "duduk zazen" bagi para pendeta Tao. Dengan kesendirian, disempurnakan dengan duduk samadi, "nang ning ono nung" dst-dst sehingga hanya bisikan nurani-insani-illahi yang relatif lebih suci menyuarakan "kebenaran hakiki" di mana tempat bersujud diri yang fakir ini.

Jika konsentrasi diarahkan ke Asmaul Husna - Kasih Sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya - dan sifat-sifat Nabi Saw terhadap umatnya, maka sangat mungkin jiwa/ruh si salik yang sedang menyelami dunia batinnya itu akan sujud menyatu hingga seakan "melebur" di antara derai air mata yang membasahi pipinya. Kondisi "ekstase" ini sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata atau tulisan. Bagi Rumi, salah satu ekspresi sufistiknya adalah melalui tarian sufinya. Mungkin bagi sufi yang lain dengan puisi-puisinya. Inilah imajinasi seni sang sufi. Inspirasi ketuhanan dan kebenaran inilah yang menjadikan para salik mencapai kondisi yang lebih "dewasa" sebagai manusia.

Kubah Masjid
Banyak pola i'tikaf, tapa brata atau samadi sesuai keyakinan dan kondisi bersangkutan. Intinya adalah kondisi tubuh serileks mungkin, kondisi batin tidak ada pertentangan hingga selaras sepenuhnya. Konon, untuk posisi salah satu dari cara duduk samadi adalah melihat ujung hidung. Pada kondisi tertentu, jika pandangan kedua mata ke ujung hidung ini akan membentuk penyatuan dua pandangan mata menjadi semacam kubah masjid. Wallahu'alam...

Jika masjid dimakmurkan melalui pendekatan tasawuf, bisa dipastikan banyak orang yang beri'tikaf di masjid pada malam-malam hari. Selain menghidupkan malam dengan ibadah, relatif bisa mengamankan lingkungan karena membantu siskamling, kegiatan spiritual ini akan membangun energi spiritual masjid - yang Insya Allah akan dilimpahi keberkahan melalui para malaikat yang mengelilingi menjaganya....
=======================================================================

Masjid sebagai "Mahluk"

APA pun yang ada di luar Sang Pencipta (Khaliq) adalah disebut ciptaan (mahluk), mulai dari mahluk macrocosmos / makroorganism hingga microcosmos / microorganisme. Bintang, planet, matahari, galaxy dan alam semesta adalah mahluk macrocosmos. Manusia, hewan, tanaman, tanah (beserta kandungan tambang, hasil bumi dan lain-lain), air / laut, udara dan lain-lain adalah mahluk duniawi / fisik / real. Setan, jin, iblis, surga, neraka, langit dan sebangsanya adalah mahluk transendental / metafisik / unreal.

Mahluk pada fitrahnya bersifat azali. Benda (mahluk) hidup dan benda mati adalah mahluk juga. Ada batas tipis yang membedakan mahluk hidup dan benda mati dari sifiat dinamis dan inisiatifnya (insting / naluri). Air, pasir, batuan, pohon (dan sejenisnya) adalah mahluk alamiah sepenuhnya. Sedangkan semen, besi, kayu, batu bata (dan sejenisnya) adalah "mahluk turunan" yang dibentuk oleh manusia dari unsur-unsur di bumi seperti air, pasir, batu, bijih besi dan lain-lain. Apa yang disebut "mahluk turunan" ini beranak-pinak bisa menjadi rumah, jembatan, gedung bertingkat hingga berteknologi canggih mulai pesawat, gadget komunikasi hingga satelit di luar angkasa.

Salah satu masjid di kampung
Demikian pula posisi Masjid sebagai Mahluk. Ia adalah bangunan yang terdiri pasir, batu bata, kayu, kaca, semen, besi, genteng dan lain-lain. Secara fisik dan ragawi, sosok masjid adalah seperti apa yang dilihat oleh mata kita. Ada masjid di kampung-kampung yang sederhana, hingga masjid megah bertatah emas di kubahnya.

Proses membangun masjid banyak sekali kisah-kisah yang melatar-belakanginya. Mulai dari masjid wakaf di kampung-kampung / desa, masjid jami' di alun-alun, masjid pemerintah di lingkungan kantor, hingga masjid yang dibangun oleh seseorang atau jama'ah tertentu. Penampilannya pun juga bervariasi mulai dari yang tradisional hingga modern, bergaya timur-tengah atau budaya adat setempat.

Masjid Kubah Emas
"Dian al Mahri", Depok
Interior Masjid
"Dian al-Mahri", Depok
Sebagaimana mahluk di luar manusia yang bersifat lebih pasif, mereka pun bermunajat dan bertasbih kepada Tuhan - meskipun kebanyakan manusia tidak mengetahui cara bertasbihnya sebagaimana mahluk hidup lainnya seperti burung, ikan dan lain-lain. Sifat-sifat alamiah mereka selalu menuruti hukum alam seperti banyak yang dijelaskan di dalam buku-buku pelajaran biologi, kimia dan fisika. Bagaimana material masjid dibangun pun, mahluk pasif bernama batu kali (untuk fondasi), pasir, air, batu-bata (untuk dinding), kayu, besi, paku/pasak, seng, genting dan lain-lain mengikuti hukum alam yang telah ditentukan Tuhan sebagi Causa Prima. Setiap mereka diolah dan dikelola oleh manusia dan alam, senantiasa terucap tasbih secara metafisik, "Ya Tuhan, kami mendengar dan kami pun mematuhi..."

Masjid modern pun jika dipasang AC, sound system, lampu crystal dan beberapa gabungan teknologi lainnya, secara fisik benda mati, seperti terlihat di berbagai pelosok negeri. Demikian juga hubungan atau interaksi masjid dengan pengurus atau ta'mir, jama'ah hingga masyarakat sekitarnya. Sekali lagi, sebagai bangunan fisik bagaimana cara memperlakukan masjid, sebagai "benda mati", ia tetap berdiri apa adanya.

Secara fisik, masjid boleh megah, sound system canggih mengumandangkan adzan atau lantunan Kitab Suci (meskipun sering kali dari tape atau cd player). Secara fisik pun, banyak umat membangun masjid sesuai "selera" mengikuti mazhab yang dianutnya. Demikian pula, masjid secara fisik dengan mudah dibangun oleh instansi pemerintah (kantor) dengan anggaran negara (APBN, APBD) melalui DIPA. Bangunan masjid ya tetap bangunan fisik...

Salah Satu Masjid di Aceh
ketika Tsunami 2004
Masjid Baitrrahman, Aceh
Namun secara metafisik, supranatural atau transedental dan tinjauan tasawuf; setiap unsur masjid itu sangat dipengaruhi oleh "nilai" - mulai dari biaya finansial (hasil halal atau haram), "niat" dari manusianya yang membangun, ta'mir pengurus, jama'ah yang meramaikan, umat atau masyarakat yang memperlakukannya sebagai Rumah Tuhan, optimalisasi masjid sebagai pusat kegiatan umat dan lain-lain. Setiap unsur materi masjid yang bertasbih kepada Tuhan merupakan energi pembangun masjid secara metafisik. Setiap doa khusyu' yang dimunajatkan di dalam masjid akan mengkristal memenuhi unsur materi masjid. Malaikat akan menjemput dan menyampaikan ke langit tanpa mengurangi kesakralan materi masjid dari doa-doa khusyu' yang dimunajatkan. Contoh konkret telah diperlihatkan Tuhan melelaui beberapa fenomena alam. Meskipun secara metafisik, jika terjadi interaksi dengan unsur alam lainnya, masjid yang suci dan disucikan (sakral) akan memberikan "tampilan" yang sangat berbeda. Ia memiliki aura tauhid yang memancar. Misalnya ketika terjadi bencana di mana-mana - seperti Tsunami di Aceh tahun 2004, sementara semuanya sudah hancur rata dengan tanah, namun ada beberapa masjid yang masih berdiri kokoh sebagai cermin Kekuasaan Tuhan, Subhanallah...

Masjid Demak (kini)
Masjid Demak (dulu)
Dari sisi ke-sejarah-an pun, posisi masjid memiliki spesifikasi beragam. Biasanya, pada jaman awal-awal penyebaran agama Islam di mana pun, tokoh-tokoh mujahid tersebut memiliki niat yang tulus terhadap nilai-nilai keislamannya termasuk perihal pembangunan masjidnya. Kerja sama gotong-royong membangun masjid antara kyai dengan santrinya senantiasa diiringi tasbih dan zikir setiap meletakkan unsur materi bangunan masjid. Doa pun selalu dimunajatkan, hingga masjid itu jadi selalu diramaikan dengan peribadatan dan kegiatan yang bermanfaat bagi umat. Bahkan dari sisi imajinasi, seninya pun tertata sangat indah dengan berbagai filosofi bangunan, arsitektur tata letak hingga pernak-pernik pahatan atau kaligrafi yang melekat di dalam bangunan masjid tersebut.

Demikianlah menyikapi Masjid sebagai Mahluk, bukan berarti dikultuskan, namun diberlakukan sebagaimana mestinya sebagai Rumah Tuhan di bumi - yang terbuka untuk semua manusia, yang suci dan disucikan dari hadast (apa pun bentuknya), yang dioptimalkan sebagai pusat kegiatan semua umat,...
=======================================================================

Masjid dan Toilet

Gedung Sate, Bandung

KETIKA tugas belajar di Kota Bandung sekitar tahun 2002-2003, saya benar-benar menikmati chemistry Kota Bunga itu. Pemandangan alam sekitarnya indah (Lembang, Ciater, Punclut, Tangkuban Perahu dll), bangunan peninggalan zaman kolonial masih menawan (Gedung Sate, Asia Afrika, Dago dll), kulinernya juga beragam pilihan (batagor, tahu/mie bakso, dll), masyarakatnya yang ramah dan lain sebagainya.

Suatu hari, saya sedang berjalan-jalan di antara permukiman kampung di Kota Bandung. Tiba-tiba perut ini koq rasanya ada yang harus dibuang (baca: BAB). Kontan kepala saya celingak-celinguk kiri-kanan-belakang...biasanya tempat pertama yang dicari adalah masjid - meski sekedar numpang BAK/BAB. Satu-dua masjid memang ada, namun begitu melihat pintu pagar terkunci, waduh, sambil menahan sakit perut, saya berjalan cepat-cepat agak terhuyung-huyung, tidak ketemu-ketemu masjid untuk numpang BAB. Akhirnya dengan memberanikan diri karena paksaan perut dan hajat yang harus dibuang, saya masuk ke lorong kampung kecil, tepat bertemu di pintu belakang sebuah rumah penduduk yang sangat sederhana.

"Bu, maaf, boleh saya numpang ke belakang?"

Seorang ibu yang ada di dapur mempersilakan saya masuk kamar mandi / WC yang kecil dan agak gelap. Penerangan satu-satunya di kamar mandi / WC adalah dari genting kaca di atas yang tembus sinar matahari. Legalah perasaan saya begitu hajat BAB sudah saya tunaikan dengan baik.

***

Toilet Masjid Bagus...
Masjid dan Toilet, tampaknya suatu tema yang sangat sepele. Namun bagi seseorang yang sedang kebetulan mengalami "paksaan" BAB di tengah perjalanan, di perkampungan, hal itu adalah persoalan yang besar. Jika bermobil di jalan raya, di setiap SPBU hampir pasti disediakan toilet. Kalau berkendara pun untuk cari masjid di jalan rasa juga bisa dikebut dengan menekan pedal gas. Ini pernah saya alami ketika mudik Jakarta-Surabaya-Jakarta, bahkan numpang mandi di masjid yang terbuka pintunya juga pernah saya alami. Mudah memasuki masjidnya, numpang mandi, BAK/BAB atau numpang istirahat di beranda masjid yang sejuk dengan semilir angin. (Tetapi pada kesempatan itu saya juga menyempatkan sholat wajib/sunnah di masjid tersebut - sebagai rasa terima kasih, menajat doa di perjalanan dan lain-lain).

Jika yang dialami seseorang seperti yang saya alami di atas, berjalan kaki di perkampungan, jika kebanyakan masjid terkunci pintu gerbangnya... "rasa siksaan" itu sulit diceritakan.

Pintu masjid terkunci pasti ada pertimbangan dari pengurusnya, mungkin karena rawan pencurian dan lain-lain. Tapi jika mengambalikan masjid sebagai Rumah Allah, idealnya masjid itu terbuka, khususnya untuk tempat/ruang yang bersifat umum seperti kamar mandi, toilet/WC, beranda masjid dan areal parkir jika ada. Fungsi masjid tidak hanya untuk ibadah ritual. Fungsi masjid untuk istirahat, buang hajat dan lain-lain kegitan refreshing bagi musafir yang nampaknya ringan atau sepele sebetulnya sangat bermanfaat, melegakan dan membahagiakan bagi yang membutuhkan. Ini salah satu harapan dari kaum musafir kepada masjid (apa pun agamanya).

Inilah fungsi Masjid dan Toilet...
======================================================================= 

Rabu, 25 Januari 2012

DPR dan Toilet

Dari http://kampus.okezone.com/ 


DPR, Kau ini Bagaimana?



AWAL 2012, anggota dewan kembali menjadi sorotan publik. Bukan karena segudang capaian prestasi. Namun, lagi-lagi karena ulahnya dalam memboroskan anggaran negara. Misalnya, dana renovasi toilet gedung DPR sebesar Rp. 2 miliar, anggaran renovasi gedung DPR sebesar Rp. 500 miliar, anggaran renovasi ruang rapat Badan Anggaran (Banggar) sebesar Rp. 20,3 miliar, anggaran pembuatan kalender sebesar Rp. 1,3 miliar, dan anggaran vitamin untuk anggota DPR sebesar Rp. 1 miliar.

Ironis, di saat rakyat masih terjerat kemiskinan, uang rakyat justru dihambur-hamburkan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terakhir per September 2011, lebih dari 29,8 juta orang Indonesia masih dalam kondisi miskin. Sementara sekira 27,8 juta orang Indonesia berada dalam kondisi hampir miskin. Maka, sudah sepantasnya anggota dewan memperjuangkan hak-hak rakyat. Sebab, mereka sejatinya adalah representator dan artikulator dari kepentingan rakyat.

Terkait pemborosan anggaran negara oleh anggota dewan, menurut saya, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Pertama, kekuasaan yang tinggi. Anggota dewan tak hanya berwenang untuk mengawasi pemerintah. Namun, mereka juga berhak menentukan alokasi anggaran negara. Dan, inilah yang kerap membuat anggota dewan pede untuk memboroskan anggaran negara. Oleh karena itu, membatasi kekuasaan anggota dewan, khususnya dalam fungsi penganggaran menjadi solusi strategis. Itu hanya bisa terwujud apabila ada upaya perubahan aturan main alias revisi Undang-Undang DPR.

Kedua, diskresi (keleluasaan bertindak) yang cukup tinggi. Tidak berbeda dengan poin yang pertama. Diskresi juga menjadi penyebab anggota dewan berlagak “semau gue”. Utamanya dalam urusan “utak-atik” anggaran negara. Dan, lagi-lagi membatasi ruang gerak anggota dewan menjadi suatu keharusan. Sebab, kita tak mau lagi melihat anggota dewan bertingkah “besar pasak daripada tiang” alias boros.

Ketiga, minimnya pengawasan. Buktinya, proyek renovasi gedung Banggar senilai Rp. 20,3 miliar lolos tanpa hambatan. Ironisnya, publik baru mengetahui proyek itu pada awal Januari 2012. Padahal, proyek itu sudah berjalan lama sejak Oktober 2011. Di sinilah peran media diperlukan. Pantauan ekstra dari media dan masyarakat menjadi suatu keharusan. Apalagi, saat ini tindak-tandukanggota dewan dari hari ke hari kian mbalelo.

Terakhir, saya ingin mengutip puisi karya K.H. A Mustofa Bisri (Gus Mus), "Aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu, kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu, kau ini bagaimana?" (24/01/2012)


Fadri Mustofa
Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
(//rhs)

***

Selama ini, entah sengaja atau tidak, entah sakit penglihatan, pendengaran atau penciuman, banyak oknum anggota DPR/D mencari pembenaran atas perilaku menyimpangnya. Mulai dari mobil mewah, kunjungan kerja dan berbagai fasilitas mewah yang justru kebanyakan menyakiti rasa keadilan rakyat. Bahkan untuk toilet pun, anggota DPR sepertinya tidak mau mencium bau busuk ketika BAK/BAB di toilet, sehingga rancangan toilet DPR harus mewah dan berbau wangi yang bisa mengalahkan bau busuk keringat, BAK dan BAB-nya... (mungkin juga untuk menglamufasekan perilaku busuknya juga, naudzubillahi min dzalik).
=======================================================================