(Catatan awal: Harap dipahami makna "masjid" secara harfiah maupun "global-semesta")
UNTUK memulai da'wah religi secara langsung, saya harus melalui banyak pertimbangan dan "penundaan waktu" - baik sengaja maupun tidak - karena ketidak-siapan diri yang benar-benar fakir di bidang agama ini. Oleh karenanya (mungkin) Tuhan menentukan tiga tahun pertama pasca usia 40 tahun untuk da'wah profesi sesuai kompetensi profesional (didukung pengalaman dan pengakuan sejak lemhannas 1999, memenangi beberapa lomba karya tulis 2001-2002, tesis ITS 2005, hingga diundang ke istana 2006). Alhamdulillah mampu saya melaksanakan "da'wah profesi" - meski banyak hambatan, tantangan dan rintangan.
Ketika "da'wah profesi" mulai cooling-down di akhir 2011, haruskah mulai memasuki "da'wah religi"? Dua tugas yang sangat-sangat berat dengan SPT langsung dari Tuhan (SPT arti sebenarnya adalah Surat Perintah Tugas, namun di blog ini saya mengartikannya sebagai Surat Perintah Tuhan).
Dalam hati ini, istilah Jawa ada "sedulur putih, kuning, abang, ireng" yang mencerminkan beberapa sifat manusia - bergolak menentukan pilihan. Dulur Ireng (saudara hitam) menghardik, "Gak usah sok suci! Cari duit saja biar kaya raya. Masak orang PU gak kaya?". Dulur Abang (saudara merah) menambahi, "Kamu itu sama sekali bukan lulusan pesantren, bahasa Arab pun nggak nguasai, apalagi tajwid yang nggak bener...!?". Dulur Kuning (saudara kuning) memberi saran meragukan, "Sudahlah, belajar dulu sampai fasih, bila perlu naik haji dulu laahh..."
Di antara kecamuk bisikan dulur ireng-abang-kuning, di dalam nang, ning ono nung (istilah Jawa yang berarti di dalam ketenangan, keheningan ada (waktu untuk) merenung), maka Dulur Putih berujar dengan bijak, "Tugas atau kewajibanmu hanya menyampaikan dengan jelas. Bukankah Tuhanmu telah memberikan keberkahan selama ini dengan selesainya konsep profesi-religi - tepat di usiamu yang ke-40 tahun? Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kamu dustakan? Apa wujud syukurmu atas karunia keberkahan ini? Tahap demi tahap telah kamu lampaui dengan segala "pertanda" dari Tuhan? Lakukanlah, kewajibanmu hanya menyampaikan dengan jelas. Ingatkah ketika Nabi Muhammad Saw diminta Malaikat Jibril untuk mengikutinya membaca Iqra' atau Bacalah di Gua Hira'?"
"Saya bukan nabi!" sergah saya seketika. Dulur Putih pun dengan sabar mengingatkan, "Lalu, buat apa konsep-konsep yang sudah kamu tulis selama ini dengan segalah hikmah yang diberikan Tuhan padamu. Sebagian konsep profesi terbukti kebenarannya... Tugasmu hanya menyampaikan dengan jelas. Konsep profesi sudah jelas, sekarang konsep agama... Hanya menyampaikan, apakah berat?"
Da'wah secara umum dengan ceramah publik seperti Khotbah Jum'at, memperingati hari besar Islam, atau yang sedang trend di teve-teve...pastilah saya tak mungkin bisa melakukannya. Saya perlu strategi da'wah yang tepat, punya ciri khas dan kekhususan... Saya tirakat, ikhtiar dengan puasa, zikir, sholat malam, khalwat dan lain-lain. Lalu saya berdoa, "Ya Tuhan, tunjukkan Kekuasaan-Mu secara nyata..." Berkali-kali doa itu saya panjatkan ke langit. Namun pada akhirnya, Dulur Putih pun menasehati, "Apakah selama ini yang kamu alami bukan merupakan Kuasa Tuhan yang nyata? Jangan minta yang aneh-aneh laah, lakukan saja! Just do it. Bismillah..."
Saya pun menyerah, harus berda'wah religi. (Apakah ini keterpaksaan? Bukan...). Singkat cerita, strategi mulai saya susun. Jika Jama'ah Tabligh masuk masjid tiga hari dan mendatangi orang dari-rumah-ke-rumah untuk "meramaikan" masjid, maka strategi saya mendatangi masjid, mengajak ta'mir berdiskusi dengan pola da'wah saya. Jika ada kesamaan visi-misi-strategi da'wah, barulah mengundang jama'ah untuk diskusi buku yang sudah saya tulis.
(Mohon jangan didramatisir beberapa paragraf di atas, bahwa saya seakan "menokohkan diri", naudzubillahi min dzalik. Saya benar-benar fakir dalam segala hal, Demi Allah, hanya Tuhan yang Maha Memberi Petunjuk. Kejadian di atas bisa dialami semua orang, di mana di dalam dirinya berkecamuk bisikan-bisikan untuk menghalangi berbuat kebaikan/kebenaran - terutama da'wah. Bisikan hitam-merah-kuning menjadikan kita keji, munkar, fitnah, malas, bodoh, malu, ragu-ragu, penakut dan lain-lain sebagai pekerjaan setan. Jadi, mari kita semua da'wah dengan kekhususan kebenaran yang dianugerahkan Tuhan ke diri kita masing-masing... Mari memperkuat kesamaan, mengeliminir keberbedaan melawan SETAN kapitalisme-imperialisme-hedonisme, korupsi, protitusi, narkoba, kebodohan, pengangguran, kemiskinan, kriminalitas dan lain-lain semacam itu).
Maka, berjalanlah saya keluar-masuk dari masjid ke masjid. Sendiri ("ditemani" Allah, para malaikat dan Nur Muhammad). Tidak mudah menemukan masjid yang "independen", non-partisan serta "merelakan diri membuka dada seluas-luasnya untuk kebangkitan islam bagi semua agama" (bahasa ini sangat sensitif). Setelah sekian waktu mencari-cari masjid - dengan suka-duka yang saya pernah alami, maka bertemulah dengan Masjid Ummul Mu'minin di Baratajaya Surabaya. Disepakati waktunya, dan mulailah awal da'wah religi "apa adanya".
Pada tahap awal, saya melampirkan sinopsis dari buku "Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang Menciptakan", berupa makalah seperti berikut ini - agar dibaca dan dipelajari sebelum acara diskusi buku dimulai pada hari Minggu, 09.10.11 jam 09.00-11.00:
========================================================================
Oleh: DIDIK HARDIONO *)
Kiranya bangsa ini sudah sampai pada titik nadir untuk segera diperbaharui di segala bidang kehidupan. Utamanya “arogansi” politik yang direpresentasikan secara persona oleh orang-orang yang justru tidak mem-pesona rakyatnya. Mengerikan! Korupsi telah merajalela tanpa mampu dikendalikan hukum. Kolusi pun terbangun kokoh di birokrasi. Begitu pula nepotisme yang mengharu-biru di setiap lini kehidupan bangsa ini. Mafia versus mafia. Semuanya terangkum di dalam kemasan hiprokitisme yang akut.
Bangunan demokrasi yang dipilari parpol sebagai dominasi representasi trias politica telah kehilangan panutan karena keserakahan atau cacat moral/akhlaq kebanyakan ‘oknum’ di hampir semua parpol – termasuk “parpol agama”. Nama luhur ‘al-Amin’ (Nasution), ‘Muhammad’ (Nazaruddin) dan ‘Ali’ (Mudhori) adalah beberapa contoh betapa sedih ketika nama luhur tersebut telah kehilangan maknanya. Nilai agama yang suci sekedar dibungkus oleh baju luar bernama gamis, koko, peci, surban atau lips service kefasihan di mulut saja…
Kerusakan sistem yang terakumulasi hingga kini akibat “salah urus” bertahun-tahun. Bagaimana melakukan perubahan signifikan dalam waktu singkat? Revolusi? Terlalu besar social-cost yang harus dibayar. Dengan khotbah/ceramah agama? Terlalu lama dan lebay karena kini banyak tuntunan sekedar tontonan, bukan panutan dan teladan…
Kembalilah ke “Masjid”
Makna “masjid” secara esensial jangan dimaknai harfiah sebagai sekedar bangunan tempat ibadah bagi umat muslim. Bahkan makna “islam”– yang berasal dari kata ‘aslama yang berarti berserah diri – pada tataran tertentu jangan dimaknai sekedar institusi agama dengan segala kodififikasi sosio-religi (Kajian 6. Makna Berserah Diri). Pada makalah ini – yang substansinya dinukilkan dari buku BACALAH – memang perlu definisi ulang dari banyak fenomena yang ada (dan karena ia memang bersifat fana).
Makna “masjid” secara filosofi berarti tempat sujud (ibadah) kepada Allah Swt. Tapi jika diperluas hakikatnya, tempat atau bangunan yang berdimensi fisik itu bisa ‘dilenyapkan’ dan menempatkan tempat bersujud ada di hati. Sehingga, di mana pun dan kapan pun, hakikat “masjid” ada di mana-mana. Ini pendekatan maknawi secara tasawuf.
Setiap manusia dalam perkembangan intelektualnya pasti belajar secara positivisme yang berlandaskan materialistis, pada umumnya dan pada awalnya. Capaian bertahap yang diperoleh justru akan menghasilkan pertanyaan dan ketidak-puasan. Maka ia pun akan terus melakukan observasi dan eksperimen lanjutan untuk “memuaskan” dirinya.
Pembelajaran intelektual idealnya berlanjut hingga emosional-spiritual. Dan seorang spiritualis sejati, pada akhir pembelajarannya akan kembali ke “masjid” pribadinya di hati – di mana di hati yang transedental telah disemayamkan ruh ketuhanan yang mengingatkan perjanjian tauhid antara ia dengan Tuhannya (QS. 7:172). Setelah bijak, matang, dewasa serta cerdas secara intelektual-emosional-spiritual dengan indikasi jiwa yang tenang atau nafsul muthma’innah, maka ia pun akan terpanggil kembali ke masjid secara harfiah untuk membangun kesalehan sosial melalui masjid (QS. 2:114-115, 9:17-18, 9:107-110, 24:36-38).
Mengapa harus kembali ke masjid dan bukannya membangun yayasan, ormas atau bahkan pro aktif di parpol agar bisa berpartisipasi politik membangun demokrasi? Si Salik (istilah pelaku spiritual) telah “membaca” hiruk-pikuk perpolitikan di negeri ini. Nyatanya? Bahkan yang beragama pun terlena politik dan “terpaksa menggadaikan” agama untuk kekuasaan karena penghayatan nilai agama belum manunggal-menghujam ke dalam dirinya.
Program “1000 Masjid, 1 Jumlahnya”
Masjid sebagai tempat ibadah memiliki ta’mir yang tulus mengabdikan dirinya pada Tuhan untuk mengurus umat melalui rumah Tuhan itu. Di sekitar masjid tentu ada warga yang berpotensi dan tidak ragu beramal sesuai potensinya, jika ta’mir masjid memberikan teladan positif bagi jama’ah dan masyarakat di sekitar masjid. Sehingga ta’mir masjid berperan sangat penting dalam memakmurkan masjid beserta umat di sekitar masjid.
Jika pelaku spiritual – yang dinamai Salik – kembali ke masjid dan mengoptimalkan seluruh potensi yang dimiliki masjid (ta’mir, jama’ah dan masyarakat di sekitar masjid); akan terjadi perubahan besar peradaban di negeri ini. Jika semua kegiatan – ya, semua kegiatan masyarakat berbasis masjid – maka masyarakat tidak perlu lagi parpol, ormas hingga bank sekali pun. Konsep demokrasi berubah total karena terdesentralisasi ke masjid. Semua aktifitas sosio, ekonomi, religi dan lain-lain akan dikelola dari umat, oleh umat (melalui masjid) dan untuk umat / masyarakat di dalam kluster masjid tersebut.
Setiap masjid akan menjadi pusat kluster pada radius tertentu. Jika masyarakat telah mempercayai ta’mir dan jama’ah sebagai hizbullah atau army of God yang mengemban tugas eksekutif rahmatan lil ‘alamin dan tugas yudikatif berdasarkan konstitusi kasih (rahim) maka masyarakat pun takkan ragu menyumbangkan setiap potensinya, mulai dari ilmu, tenaga hingga investasi finansial sekali pun. Eksistensi masjid menjadi pusat kegiatan umat tanpa mengesampingkan fungsi utama masjid sebagai tempat ibadah.
Alangkah indahnya keseimbangan kehidupan seperti itu yang “dikomandani” oleh kalifatullah atau waliyullah yang “sudah selesai” dengan hidupnya, dan kembali ke masjid. Cahaya ‘aslama akan memancar dengan sendirinya dari tempat-tempat ibadah yang kembali disucikan dan dioptimalkan itu. Orang-orang pun akan bergegas kembali memenuhi rumah Allah karena ada kedamaian di sana, ada kegiatan positif/konstruktif, ada ketulusan hamba-hamba Allah yang siap membantu segala macam persoalan masyarakat.
Kondisi ideal ini mau tidak mau memang me-review kepemimpinan Sang Nabi Saw hingga Para Wali di tanah Jawa, misalnya. Di dalam da’wah, mereka tidak menerima upah selain dari Allah Swt (QS. 2:41, 6:90, 13:39-40, 16:81-82, 36:21). Pekerjaan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup biasanya dengan bertani, berdagang dan masih banyak lagi. Namun untuk da’wah, para waliyullah ini telah paham benar aturan mainnya.
Setelah masjid terkelola baik, padat aktifitas, ter-manage transparansi-professional, mengembalikan kemurnian ibadah pada Tuhan (baca Kajian 21. Memurnikan Ibadat); maka ia akan menebarkan ‘virus-virus cinta’ ke masjid-masjid lain. Masjid-masjid yang telah menemukan “jati-diri” ini akan membangun jaringan antar masjid (akan dipetakan secara GPS/GIS/IT). Jika ada strategi marketing yang bernama MLM (Multi Level Marketing), maka di dalam sistem ini akan terbangun juga MLM tetapi artinya Masjid Loves Masjid atau Mosque Loves Mosque, dengan satu tujuan yang sama, yakni rahmatan lil ‘alamin.
Itulah Program ‘1000 Masjid, 1 Jumlahnya’. Di mana pun Si Salik mendatangi masjid, dijumpainya saudaranya (Si Salik yang lain) yang siap menerima dengan tangan terbuka. Masjid memiliki banyak program, misalnya menyantuni anak yatim/piatu, terlantar / jalanan dan fakir-miskin yang ada pada kluster masjid. Sehingga perlahan tapi pasti akan terwujud pengentasan kemiskinan dan tidak ada orang lapar. Pembinaan selanjutnya lebih mudah. Masih banyak aktifitas lain yang berbasis masjid, baik siang maupun malam, 24 jam sehari!
Program ‘1000 Masjid, 1 Jumlahnya’ (angka 1000 mewakili banyaknya jumlah masjid tak terhitung, angka 1 mewakili satu tujuan rahmatan lil ‘alamin), adalah program mandiri yang rasional, terukur/terstruktur dan terencana secara sistemik. Berapa pun jumlah masjid, mazhab apa pun yang dianutnya tetapi mengemban satu pesan spiritual yang sama yaitu berlomba dalam kebaikan, membawa manfaat bagi yang lain, rahmatan ‘lil ‘alamin…
Membangun FAST-3i Community
Kejenuhan peradaban yang melanda di seluruh pelosok bumi ini memerlukan konsep yang pasti kebenarannya. Sedangkan konsep kebenaran yang pasti, sudah dijelaskan nyata bersumber dari QS. 2:147 yaitu “Kebenaran itu datang dari Tuhan-mu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. Inilah pesan dari Tuhan yang mendasari Si Salik melakukan perjalanan spiritual mencari “jati diri”. Ilmu demi ilmu dijajaginya intens (Kajian 32. Tentang Ilmu). Cobaan demi cobaan dilaluinya dengan tawakkal dan istiqomah. Perjalanan panjang yang melibatkan pengembaraan jiwa itu (Kajian 34. Pengembaraan Jiwa) akhirnya Tuhan mengapresiasi upaya spiritualnya dengan sapaan; “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89. al-Fajr 27-30).
Ayat tersebut di atas biasanya ditujukan kepada orang yang telah meninggal dunia. Padahal perjalanan spiritual yang benar akan menemukan hakikat hidup dan mati. Sebagian besar umat muslim percaya bahwa Nabi SAW tidak wafat namun hanya berpindah tempat. Demikian pula para waliyullah atau syuhada. Perjalanan kehidupan pasti mengantarkan manusia pada pintu gerbang bernama kematian. Yang melewati pintu kematian adalah ruh, sementara jasad harus ‘ditanggalkan’ dan ‘ditinggalkan’ di bumi – karena ia berdimensi alamiah di bumi. Si Salik yang memahami filosofi spiritual ini akan merasakan maqam seperti dijelaskan pada QS. 89:27-30. Apalagi kenikmatan tertinggi selain frekuensi batin yang telah seirama dengan Kehendak Tuhan dan jiwanya telah mencapai maqam tertinggi nafsul muthma’innah (jiwa yang tenang).
Orang-orang inilah yang ditunggu kedatangannya merubah peradaban negeri yang telah carut-marut ini. Ia yang telah selesai dengan hidupnya, ia yang telah menyelesaikan hidup sebelum matinya; telah purna inti kebijakan yang dipahami dan menyatu dalam diri. Perjalanan spiritual beserta segala ilmu yang telah dihayatinya, telah mengantarkannya pada puncak kenikmatan pemahaman akan hakikat hidup. Ia pun tidak terlena menikmati kenikmatan pribadi itu. Secara realita sosial, Si Salik akan kembali kepada Tuhannya melalui rumah Tuhan (masjid), bekerja untuk umat karena Tuhan (melalui masjid) dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya. Ia pun masuk ke dalam jama’ah (komunitas) hamba-hamba Tuhan, dan Tuhan pun memperkenankan masuk ke surga-Nya, baik makna surga secara harfiah secara ukhrowi yakni surga di akhirat kelak, maupun makna surga secara tamsil sufisme yakni “surga diri” di dunia saat ini, di sini. (baca Kajian 37. Surga dan Neraka).
Analogi penjelasan ayat tersebut di atas telah menjelaskan maksud membangun FAST-3i Community yang dijiwai kecerdasan (Fathonah), bisa mengemban tugas (Amanah), jujur/benar (Siddiq) dan menyampaikan semua kebenaran (Tabligh). Secara filosofi populer, ia pun dikemas ke dalam Iman, Ilmu dan Imajinasi (3i). Maka demikianlah hakikat utama membangun FAST-3i Community. Kepemimpinan FAST-3i terdiri dari individu-individu yang telah matang, bijak, cerdas, amanah, jujur, gigih pada prinsip penyampaian yang benar, berpikir cepat (fast), bertindak tepat dan berstrategi akurat.
Struktur masyarakat madani dengan pola kepemimpinan inilah yang akan muncul secara alamiah pada gerakan “revolusi spiritual” seribu masjid satu jumlahnya. Karena inilah satu-satunya konsep praktis ‘aslama menurut pemikiran dan imajinasi ilmiah-relijius Penulis untuk memperbaiki peradaban jahiliyah modern yang salah arah dan salah urus selama ini.
*) DIDIK HARDIONO
Jurnalis, Budayawan
Penulis Buku “BACALAH…”
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus