TAHUN 2001-2002, masih di dalam "kekosongan" yang belum efektif di lingkungan kerja/profesi. Apalagi pada masa-masa itu dibarengi dengan perubahan organisasi dari Departemen PU menjadi Menteri Negara PU, lalu Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (Depkimbangwil), lalu Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Depkimpraswil).
Seorang penulis atau seniman atau bahkan jika meningkat pada seorang asketik, kegemarannya di dalam 'bekerja' adalah secara sendiri. Bahasa kerennya mandiri. Terkadang banyak orang umum melihat seorang yang "menyendiri" memberikan kesan tidak umum. Ya, memang tidak umum. Karena sering pula dijumpai orang yang sering menyendiri memiliki "kelainan-kelainan" dibandingkan dengan kebanyakan orang pada umumnya. Banyak pula "kelainan" tersebut menyebabkan tindakan extra-ordinary yang bersangkutan - bahkan para depressor (orang yang depresi), psikopat hingga pelaku teroris pun konon tidak suka atau sulit berbaur dengan masyarakat sekitar. Saya telah mengalami penilaian seperti itu. Mulanya terpengaruh, namun sekarang sudah terbiasa. Ini yang perlu diluruskan maknanya agar jangan megeneralisir suatu fenomena baik secara pribadi maupun publik. Perlu pembelajaran bagi masyarakat.
Pada suatu kesempatan di tahun 2001, ada peluang lomba karya tulis di departemen. Ini merupakan kesempatan untuk uji nyali dalam bidang tulis-menulis, sekalian menyaring hikmah kebijakan profesi selama membantu Direktur Bipran ketika kursus lemhannas tahun 1999. Tema yang saya tulis - dari materi tugas akhir lemhannas serta menampung masalah dan kebutuhan profesi secara tersirat selama saya bekerja di Departemen PU mulai tahun 1995 - adalah Kinerja Terukur. Beberapa hari saya menuliskan ide-ide yang sudah "menggenang" di otak profesi saya. Setelah selesai, segera saya serahkan hasil karya tulis ke panitia. Beberapa hari menunggu pengumuman, dan hasilnya alhamdulillah menjadi juara pertama.
Sebagai manusia yang masih bisa tersenyum dan tertawa, atau bergembira dan bahagia atas pujian dari manusia lain - apalagi dari pucuk pimpinan instansi tempat bekerja (yaitu Menteri PU), saya merasakankan anugerah intelektual dari Tuhan. Proses interaksi dari apa yang diserap dengan apa yang dipancarkan akan menghasilkan suatu sintesa yang seharusnya bermanfaat bagi manusia lain dan seluruh alam sebagai rahmatan lil 'alamiin. Ini adalah salah satu tanda momentum proses belajar hakikat dari rasa syukur terhadap Kasih Tuhan yang tiada terukur untuk menghasilkan pemikiran kinerja terukur bagi instansi profesi. Berawal dari sini, mulai ada dorongan untuk membuat konsep profesi dari berbagai masalah ke-PU-an yang dihadapi dengan kondisi ideal yang diinginkan ke depan - baik untuk kepentingan instansi khususnya maupun negeri ini pada umumnya.
Tanpa perencanaan definitif pada masa-masa mendatang, waktu masih terus mengalir lagi dengan kondisi apa adanya. Namun ketika malam tiba, terkadang diri ini merenung kembali atas segala nikmat yang terselubung di antara banyaknya realitas yang tak terhingga. Saya sering merenungkannya ketika dalam perjalanan panjang naik kereta api atau bus malam dari Surabaya ke Jakarta/Bandung dan sebaliknya, dengan menempelkan pelipis ke kaca jendela, memandang keluar melihat geliat kehidupan sosial manusia di alam sana yang penuh romantika. Atau pula dalam perjalanan singkat naik pesawat, pandangan mata menatap arakan awan seputih salju yang indah, memandang betapa kecilnya kita. Terkadang pula saya membayangkan bagaimana kalau pesawat yang saya tumpangi ini jatuh seperti banyak diberitakan di media.
========================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar