Kamis, 05 Januari 2012

Karya Tulis 2001: Membangun Sistem Kerja Terukur

Membangun Sistem Kerja Terukur 

Untuk Melancarkan Pelaksanaan Otonomi Daerah 
Bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah 
Dalam Rangka Memperkokoh 
Persatuan dan Kesatuan Nasional 


diisusun oleh: 

IR. DIDIK HARDIONO 
NIP. 110054159 



Ditjen Prasarana Wilayah 
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah 



Pemenang I 
Lomba Karya Tulis Depkimpraswil 
Dalam rangka 
HARI BAKTI PU 3 DESEMBER 2001 

Tema 
Melancarkan Pelaksanaan Otonomi Daerah 
Di Bidang Kimpraswil Dalam Rangka 
Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Nasional 





Jakarta, 21 Nopember 2001 


1. Pendahuluan

Otonomi Daerah ramai dibicarakan di berbagai kesempatan seminar / diskusi seputar UU tahun 1999 No. 22, 25, 28 oleh instansi Pusat-Daerah, termasuk Depkimpraswil. Di antara ketiga UU tersebut, UU No. 22 dan 25 lebih dominan dibahas intens di berbagai kesempatan meskipun hasilnya belum optimal. Sedangkan UU No. 28 yang menekankan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) ternyata kurang begitu dimasyarakatkan. Padahal materi UU No. 28 ini bisa menjadi blunder reformasi untuk (diharapkan) membenahi dan menciptakan mental aparat yang jujur dan berwibawa. 

Berangkat dari sikap jujur dan berwibawa, kesadaran berbangsa dan bernegara (diharapkan) semakin menguat, serta pengembangan SDM Pusat-Daerah relatif lebih mudah dilakukan secara terpadu, bertahap dan berkesinambungan. Terpadu artinya serentak bagi aparat Pusat dan Daerah; Bertahap artinya berdasarkan skala prioritas jabatan; Berkesinambungan artinya upaya reformasi yang dilakukan secara terus menerus. 

Sementara itu bagi Depkimpraswil ternyata bukan saja ke-3 UU Otda yang menjadi beban saat ini dan mendatang, karena banyak home-works yang belum diselesaikan menyangkut UU-PP bidang kimpraswil. Beberapa UU/PP yang masih harus disinergikan di antaranya:
  1. UU No. 18/1999: Jasa Konstruksi,
  2. UU No. 24/1992: Penataan Ruang,
  3. PP No. 47/1992: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
  4. UU No. 14/1992: Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,
  5. UU No 13/1980: Jalan,
  6. PP No. 26/1985 Jalan. 
Masalah menjadi menumpuk melihat variabel dan kerja internal atau endogenous variables Depkimpraswil belum mantap karena ada perubahan visi-misi dari Departemen PU, Depkimbangwil dan Meneg PU hingga menyatu lagi ke dalam Depkimpraswil. Perubahan itu membuktikan betapa lemahnya management of state karena waktu 2 tahun terbuang percuma! 

Karena trial and error tersebut, Depkimpraswil belum optimal untuk membahas UU Otda menyangkut kimpraswil, belum terpola praktis serta belum acceptable. Tulisan ini tak akan menambah argumentasi teknis yang memungkinkan diverse, tetapi akan mengarahkannya pada kajian filosofis management of state yang tentunya dikaitkan dengan tema tulisan ini. Bagaimana pun sebagai bangsa, pasti masih mempunyai ‘sisa-sisa’ potensi untuk bisa lebih dikembangkan, menemu-kenali rasa percaya diri serta berusaha terus memperbaiki carut-marutnya bangunan bangsa yang telah porak-poranda selama ini akibat berbagai krisis. 

Sementara itu, masalah yang dihadapi banyak instansi pemerintah menurut Cahyana Ahmadjayadi (Dirjen Bangda) diakibatkan:
  1. Kultur kepemimpinan (terefleksi dalam berbagai aturan) yang mendeskripsikan berbagai format hubungan atasan-bawahan yang berdimensi komunikasi satu arah sehingga menciptakan format organisasi yang tidak menciptakan inisiatif bawahan,
  2. Sistem keuangan Pusat yang menciptakan sistem budget driven yang mengakibatkan arah birokrasi dan lembaga tidak pada loyalitas layanan publik atau public services,
  3. Proses rekruitmen pegawai tidak profesional/transparan menciptakan basis kultur dan sistem nilai yang tidak kondusif bagi inisiatif strategic yang diciptakan oleh lembaga. 
Oleh karena itu pembenahan infrastruktur organisasi dan manajemen Depkimpraswil sebagai instansi Pusat menjadi barometer bagi Daerah untuk secara integral membangun sistem kerja terukur. 

Berikut dipetakan elemen di bawah main organization NKRI dan masalah nasional di sela kemungkinan peluang memperbaiki kinerja aparat dan instansi pemerintah Pusat dan Daerah terutama Depkimpraswil yang terkait dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. 

Gambar 1. Elemen Terkait Departemen PU 

Struktur tulisan ini mengkaji seluruh main frame yang dipayungi lemahnya nasionalisme dan gagalnya sistem pendidikan. Akibat hal itu ada kemungkinan potensi integralisme sekaligus sparatisme sehingga perlu pemberdayaan SDM Pusat-Daerah akan eksistensi sebagai manusia dan warga bangsa, perlu pembenahan organisasi – baik pemerintah Pusat dan Daerah, organisasi swasta dan ormas pada umumnya – termasuk pembenahan manajemen. Setelah mencermati semua masalah itu, ditarik akar masalah (grass root) fungsi Depkimpraswil dalam rangka melancarkan pelaksanaan otda di bidang kimpraswil dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, serta menyusun langkah-langkah strategis untuk membangun sistem kerja terukur.

2. Lemahnya Nasionalisme 

Agenda AFTA 2003 dan Globalisasi 2020 adalah tantangan terberat dari nasionalisme. Karena pada masa itu akan terjadi proses kapitalisasi merambah ke seluruh dunia, di mana pemilik modal kuat dari mana pun datangnya bisa menanamkan modalnya ke daerah sesuai UU No. 25/2000 tepatnya pada pasal 88. Sementara nasionalisme belum mantap menghadapi new capitalism – bahkan cenderung melemah – gejala globalisasi semakin nyata menggusur investor dan tenaga lokal. Sertifikasi tenaga kerja lokal kenyataannya belum mampu bersaing dengan tenaga kerja asing yang lebih siap dari sisi pemberdayaan SDM-nya. 

Berdasarkan Keppres No. 102/2001 pasal 28 huruf e. disebutkan, “penetapan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di bidangnya”. Hal ini adalah bukti bahwa fungsi Depkimpraswil bisa menentukan kualitas SDM yang terkait bidang kimpraswil termasuk SDM Daerah. 

Tetapi fungsi prima Depkimpraswil tidak bisa berjalan efektif jika situasi nasional tidak kondusif. Akumulasi permasalahan nasional itu muncul setelah Reformasi 1998 bergulir secara alamiah. Seluruh aspek kehidupan nasional amat terpengaruh imbasnya pasca krisis ekonomi 1997. Begitu pun struktur pemerintahan yang ditentukan fluktuasi politik, ditandai lahirnya puluhan partai politik (parpol) yang berkompetisi di Pemilu 1999. Semua tuntutan reformasi bertumpu pada pemerintahan baru terutama isu demokratisasi, transparansi, pemulihan ekonomi dan tuntutan daerah akan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya bagi daerah. Isu terakhir ini mendorong diterbitkannya UU Otonomi Daerah. 

Sayangnya semangat reformasi diwarnai euphoria politik berlebihan. Parpol mulai mengedepankan kepentingan kekuasaan. Reformasi menjadi anarkhi elite melemahkan nasionalisme. Gejolak di daerah menuntut otda berpeluang melahirkan raja kecil, memindahkan KKN Pusat ke Daerah, sekat-sekat hambatan bagi investor dan pengusaha disebabkan oleh perda yang belum kondusif, serta pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan masih belum bisa merata karena ketidak-samaan kemampuan antar Daerah.

3. Gagalnya Sistem Pendidikan 

Masalah nasional semakin menumpuk sehingga sulit mereduksi dan mengeliminirnya jika tidak melalui semangat nasionalisme yang solid dari semua anak bangsa termasuk instansi Pusat-Daerah. Begitu pun dialami Depkimprawil sebagai bagian dari kabinet yang terkena imbas nasional. Nasionalisme lemah disebabkan apriorinya nation and character building yang (seharusnya) dimotori oleh sistem pendidikan nasional. 

Gagalnya Sistem Pendidikan Nasional, Pikiran Rakyat (2004) - Ketika Tugas Belajar di Bandung
Dengan kata lain, melemahnya nasionalisme tersebut disebabkan oleh kegagalan sistem pendidikan nasional (sispennas) yang meliputi:
  • Kegagalan pendidikan demokrasi politik yang berakibat ketimpangan pemerataan pembangunan antara Pusat dan Daerah;
  • Kegagalan pendidikan organisasi publik yang mengakibatkan sistem kerja organisasi atau instansi kabur dan tidak terukur hampir di semua instansi Pemerintah Pusat dan Daerah;
  • Kegagalan pendidikan dan latihan – dan pendidikan umum sekolah – oleh instansi terkait mengakibatkan terpuruknya penjenjangan profesi dan karier bagi aparat birokrasi publik di Pusat dan Daerah. 
Sebagai contoh sederhana dari kegagalan sispennas secara umum adalah produk intelektual yang tidak paham perbedaan filosofi mendasar antara ilmu dengan pengetahuan yang sinergi menjadi ilmu pengetahuan. Berikut ini dikemukakan perbedaannya: 

Tabel 1. Perbedaan Ilmu (Science) dan Pengetahuan (Knowledge) 

Tampak dari gambaran di atas bahwa sispennas yang ada selama ini hanyalah sistem pengajaran (bukan pendidikan) yang memberi tata nilai kebetulan (bukan kebenaran), biaya mahal, menghasilkan banyak sarjana tetapi sujana karena tidak menghayati inti-inti kebijaksanaan. Imbasnya berdampak pada pola penyelenggaraan diklat, kursus penjejangan hingga sertifikasi profesi yang tidak menganut azas ilmiah. Hasilnya adalah lulusan yang tidak mengetahui masalah dan tidak paham skala prioritas mana yang harus segera diselesaikan. 

Dengan sispennas salah menghasilkan produk intelektual yang salah, konsep yang salah, penafsiran yang salah termasuk penafsiran UU Otda. Akibatnya, selain berlarut-larut membuang banyak daya dan dana, juga mencerminkan tidak seriusnya Pemerintah Pusat dan Daerah membangun sistem kerja terukur secara terpadu dari struktur paling bawah. 

Penyelenggaraan sistem pendidikan bagi warganya, menurut Plato dan Aristoteles, wajib oleh Negara. Dengan demikian UU. No. 25/1999 pasal 7 mengenai Kewenangan Daerah perlu ditambahkan pengecualiannya, yaitu sispennas kewenangan Pusat. Perumusan sispennas harus disusun secara mantap agar melahirkan peserta didik yang mahir dan andal. 

Telah banyak generasi yang lahir pada sispennas yang salah, karena hanya mengutamakan materi kurikulum dan kelulusan kuantitatif tanpa memperhatikan character building. Akibatnya banyak sarjana, birokrat dan teknisi yang berwawasan sempit. Pemahaman filosofi justru sama sekali tidak dipahami oleh mereka yang mengaku intelektual. Sebagai contoh adalah penafsiran dan penerapan UU Otda yang masih belum jelas karena tiada pemikir lain selain konseptornya. Kreatifitas ilmiah belum terlatih… 

Berkaitan dengan tema melancarkan pelaksanaan Otda di bidang kimpraswil dalam rangka memperkokoh persatuan-kesatuan nasional maka peningkatan mutu sispennas harus menjadi prioritas utama. Dengan semua upaya itu diharapkan kesadaran dari aparatur Pemerintah Pusat-Daerah dan stakeholders terkait akan pentingnya profesionalisme dan nasionalisme menghadapi Globalisasi 2020. 

Seluruh aparat Pusat-Daerah yang terlibat pembahasan UU Otda ini bisa dipastikan berpendidikan minimal diploma (D3) atau sarjana (S1). Tetapi perlu disadari bahwa pembahasan teknis itu tingkatannya di bawah pembahasan filosofis. Demikian pula profesionalisme seharusnya di bawah semangat nasionalisme. Sehingga antusiasme daerah yang sangat sempit dan memancing benih-benih sparatisme, harus dieliminir oleh integralisme, profesionalisme dan nasionalisme.

4. Potensi Integralisme Sekaligus Sparatisme 

Dengan sispennas ‘cacat’ karena pincangnya pijakan profesionalisme dan nasionalisme akan menghasilkan produk sarjana yang ‘cacat’ pula. Ironinya mereka banyak mengisi di jajaran instansi Pusat-Daerah melalui proses rekruitmen yang tidak profesional, tidak transparan dan menciptakan basis kultur dan sistem nilai yang tidak kondusif bagi inisiatif stratejik yang diciptakan oleh lembaga (Cahyana Ahmadjayadi - Dirjen Bangda)

Mereka belum berhasil merumuskan konsep operasional UU Otda yang benar-benar acceptable. Sehingga yang muncul berkenaan UU Otda bukan integralisme dalam kerangka NKRI tetapi justru benih-benih gejala sparatisme seperti di Aceh, Irian Jaya dan Maluku serta kemungkinan daerah lain akibat wawasan yang sempit, tidak profesional dan cenderung berorientasi pada keuntungan materi-pribadi, baik secara kedaerahan maupun personal aparatnya. 

Di antara 2 pilihan sulit antara potensi integralisme dan sparatisme, maka fungsi Depkimpraswil sangat menentukan meskipun tidak langsung. Organisasi Depkimpraswil sebagai departemen teknis memang tidak sebagai instansi ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Tetapi kebijakan publik Depkimpraswil bisa membawa dampak persepsi Daerah terhadap Pusat. Jika kebijakan publik Depkimpraswil tidak kondusif bagi eksistensi Daerah, akan timbul disorientasi Daerah yang puncaknya bisa memicu gejala separatisme. 

Fungsi kebijakan publik Depkimpraswil itu adalah:\
  • Menetapkan persyaratan akreditasi lembaga pendidikan dan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta syarat jabatan di bidangnya;
  • Menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi Daerah meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidangnya. 
Jika fungsi tersebut tidak profesional dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan egoisme aparat Daerah dan stakeholders setempat. Demikian pula jika pembinaan dan pengawasan tidak proporsional serta mengabaikan nasionalisme akan memungkinkan muncul gejolak di Daerah. 

5. Pemberdayaan SDM Pusat-Daerah 

Seperti disinggung bab sebelumnya bahwa SDM bagi pembangunan nasional sangat menentukan konsep pembangunan, termasuk UU Otda. Macam-macam potensi SDM itu sendiri belum banyak dipahami oleh khalayak umum. Salah satu teori yang paling sederhana menyangkut potensi SDM, yaitu:
  1. Intelectual Quotient atau disingkat IQ,
  2. Emotional Quotient atau disingkat EQ,
  3. Spiritual Quotient atau disingkat SQ. 
Membangun potensi manusia Indonesia yang seutuhnya seharusnya memperhatikan ketiga potensi dasar SDM yang melekat pada manusia. Tetapi ternyata dari keseluruhan proses sispennas yang telah dibahas pada bab sebelumnya, ketiganya belum optimal diberdayakan secara optimal. Hanya IQ sebagai standar dan itu cara penilaiannya belum proporsional. 

IQ di otak kiri pada dasarnya berfungsi untuk berbicara menguasai, tata bahasa, hingga dapat berbahasa dengan baik dan benar; membaca, menulis dan berhitung; daya ingat nama, waktu dan peristiwa; sifat logis, analitis, terarah pada satu persoalan, langkah-demi-langkah, dan rasional. Ini berhubungan dengan pembentukan kecerdasan untuk pendidikan formal. 

EQ di otak kanan pada dasarnya berfungsi untuk sifat intuitif; sifat waspada, atentif, berdaya konsentrasi; pengenalan ruang dan lingkungan; pengenalan diri dan orang lain; senang akan musik/seni; kondisi emosi yang relatif stabil atau terkendali; proses sosialisasi, pembentukan kepribadian dan kemandirian; kreatif, inovatif dan produktif. 

SQ di hati berfungsi sebagai nurani yang membisikkan kebenaran, jujur, adil, ikhlas, kemanusiaan dan ketuhanan. 
Dari tiga modal dasar SDM itu hanya IQ yang lebih diperhatikan, itupun tidak “diperlakukan” secara benar. Ukuran S1, S2, S3 hanya dilihat dari ijazahnya tanpa menelusuri kredibilitas lembaga pendidikannya dan karakter orang yang bersangkutan. Penilaian mutu SDM tidak semudah itu, karena EQ dianak-tirikan dan SQ dikesampingkan. Perlu standar tersendiri untuk menilai kualitas SDM yang seutuhnya. 

Banyak organisasi yang memiliki human resources development, termasuk Depkimpraswil, tetapi eksistensinya tidak menunjukkan pola pikir yang kritis, dialektis, integralistis sebagai syarat intelektualisme. Apakah pertimbangan ini menjadi perhatian utama bagi instansi Pusat-Daerah ketika akan melakukan rekruitmen PNS? Tidak! 

Sehingga perlu kiranya menyusun kembali skenario pemberdayaan SDM Pusat-Daerah mulai rekruitmen, penjenjangan jabatan strategis hingga pola kerjasama organisasi / instansi Pusat-Daerah, yaitu:
  1. Seleksi rekruitmen harus obyektif dan profesional;
  2. Tes seleksi meliputi tes akademis, IQ dan EQ (dengan catatan materi harus benar-benar berbobot kualitasnya) – bila perlu tes SQ;
  3. Penjenjangan karier harus berdasarkan fit and proper test – bila perlu dari asisten pimpro, pimbagpro, pimpro, kepala seksi, kasubdit, direktur hingga dirjen. Penilaian dilakukan oleh Tim Penilai/Ahli yang diakui kredibilitasnya, sehingga sistem yang bekerja – bukan like and dislike;
  4. Sertifikasi, kursus PIP, adum, spama, spamen, spati dilakukan berkala dan berbobot kualitasnya; bukan sekedar pemenuhan materi kurikulum, karena bukan rahasia lagi jika makalah tugas bisa “diperjual-belikan”;
  5. Sistem pendidikan lanjutan misalnya tugas belajar program S1, S2, S3 harus diuji ulang berdasarkan tingkat kebutuhan instansional;
  6. Program diklat harus memiliki kurikulum baku, memperhatikan mutu dan syarat akademis yang teruji metode ilmiahnya;
  7. Secara berkala dilakukan kursus manajemen dan organisasi, terutama dalam rangka kaderisasi tenaga muda yang berpotensi dan profesional untuk menjaga kesinambungan visi-misi-strategi instansi Pusat-Daerah;
  8. Menjaga komunikasi, koordinasi, konfirmasi, konsolidasi aparat/SDM Pemerintah Pusat-Daerah untuk melancarkan proses pelaksanaan Otda dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI. 
Kelemahan instansi atau organisasi yang bersumber dari kelemahan SDM Pusat-Daerah yaitu persyaratan jabatan dan fasilitas yang diterimanya dinilai dari jejang strata pendidikan formal atau sertifikat yang belum teruji kualitasnya. Padahal semakin tinggi jabatan instansional sebagai perumus dan penentu kebijakan publik adalah bersifat generalis bukan spesialis. 

6. Pembenahan Organisasi 

Depkimpraswil yang dibentuk melalui Keppres No. 102/2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen. Tugas dan fungsi Depkimpraswil dijabarkan pasal 37 dan pasal 38. Kebijakan makro yang berkaitan UU Otda yaitu Pasal 38:
  1. Penetapan pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan Kabupaten/Kota di bidangnya;
  2. Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otda yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi di bidangnya;
  3. Penetapan standar pemberian ijin oleh Daerah di bidangnya;
  4. Penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidangnya; 

Mengingat fungsinya menurut Keppres sangat berat mengemban misi untuk melancarkan pelaksanaan Otda di bidang kimpraswil dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, maka Depkimpraswil harus memantapkan endogenous variables melalui soliditas antar unsur dan membangun sistem kerja terukur. Sementara ini organisasi Depkimpraswil dinilai ‘gemuk’ dan penempatan personil belum berdasarkan kemampuan yang tepat sehingga tidak bisa bekerja secara efektif dan efisien. 

Akibatnya, in fact, Depkimpraswil kinerjanya belum mantap dan sistem kerjanya belum jelas. Belum mantap ditunjukkan dengan tidak ada koordinasi dan konsolidasi penanganan proyek antar direktorat dan struktur di bawahnya. Sistem kerja belum jelas menganut sistem kerja dadakan dan asal-asalan, kurang terencana dengan baik. Padahal dalam organisasi yang solid dan mantap, target kerja seminggu ke depan sudah terencana jelas sehingga step-by-step pekerjaan akan berjalan baik. 

Dari sisi pemberdayaan ‘modal’ data, daya dan dana juga belum terorganisir dengan baik, terutama bekaitan dengan Otonomi Daerah, yaitu:
  1. DATA yang masuk dari seluruh Kabupaten, Kota dan Propinsi bidang kimpraswil belum disimpan dan dikelola dengan baik, sehingga ketersediaan data belum lengkap. Koordinasi dengan Daerah untuk kelengkapan data juga belum diintensifkan;
  2. Daya yang dimiliki Pusat-Daerah belum diberdayakan optimal, baik kemampuan daya manusia, teknologi/sistem maupun aset;
  3. Dana untuk bidang kimpraswil baik APBN, APBD maupun loan/grant sebenarnya masih bisa menunjang tupoksi intansi Pusat dan Daerah, tetapi karena manajemen yang lemah akhirnya menjadi ‘berantakan’. 
Sistem kerja Depkimpraswil belum mantap dan belum terukur, maka produk fungsinya pun belum bisa dipercaya sepenuhnya oleh ‘pasar’ mulai pemprov, pemkot, pemkab, bappeda, dinas-dinas terkait, stakeholders dan masyarakat umum baik secara lokal, regional apalagi internasional. 

7. Pembenahan Manajemen 

Seorang I Gede Prama dan Rheinal Kasali sebagai resi dan pakar manajemen telah menempatkan behavior attitude sebagai kunci sukses dari kegiatan pribadi dan berhasilnya visi-misi-strategi dari organisasi. Intinya, mereka menekankan soal:
  1. Kepercayaan (trusty),
  2. Kejujuran (honesty), dan
  3. Keterbukaan (transparancy)
Kepercayaan adalah rasa percaya diri akan kemampuan teknis dan manajerial sehingga memperoleh kepercayaan orang lain yang membawa konsekuensi produk perusahaan/organisasi dipercaya pasar (marketable). Kejujuran adalah salah satu spiritual quotient, sikap mulia yang membawa suasana ketenangan dan konsentrasi kerja sehingga sistem berjalan sesuai visi-misi-strategi organisasi. Sifat jujur sangat menunjang UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Keterbukaan adalah interaksi antar personal/individu atau pelaku yang ada di lingkungan perusahaan/organisasi yang bersangkutan. 

Seorang manajer organisasi atau pemimpin instansi Pusat-Daerah yang mampu mengembangkan tiga potensi SDM seperti dijelaskan di atas, akan bisa mengambil kunci sukses tidak hanya dari IQ tetapi juga dari SQ. Baginya, ajaran agama (apa)pun sangat erat terkait dengan profesionalisme yang mengajarkan kunci sukses dari marketing maupun managing, yaitu:
  1. Keadilan (fairly identik honesty) lihat QS. 11:8,
  2. Ketelitian (accuracy identik trusty) lihat QS. 49:6,
  3. Musyawarah (negotiation identik transparancy) lihat QS. 3:159. 
Kreatifitas dan inovasi kritis, dialektis dan integralistik belum tampak dari pimpinan Pusat-Daerah, apalagi struktur di bawahnya. Jika pimpinan tidak memberi solusi manajemen yang baik, struktur di bawahnya semakin menjadi lebih parah. Dengan tidak adanya pembinaan manajemen melalui behavior attitude akan berakibat seperti penyimpangan sudut, yaitu semakin jauh semakin melebar dari titik asal. Misalnya “rekayasa” data jalan yang sering terjadi untuk memenuhi target laporan pimpinan. Tetapi, ironinya kesalahan itu menjadi dasar penyusunan program atau DIP selanjutnya. 

Que sera-sera, whatever will be will be… 

8. Langkah-Langkah Strategis 

Reformasi segala bidang harus menumbuhkan nasionalisme yang integralistik terutama sense of unity. Bukannya melihat tumpukan masalah melahirkan ungkapan pesimisme taedium vitae atau weltschmerz sebagai rasa capek pada kehidupan mengingat nasib bangsa yang “mati suri” - tetapi justru banyak oknum penguasa-pengusaha yang “menikmati”. 

O Tempora! O Mores! Itulah warisan Cicero bagi siapa pun yang menjeritkan kegalauan zaman yang dialaminya. Tetapi bagi Depkimpraswil sebagai ‘panglima’ pembangunan fisik bangsa, harus mampu mengatasi kegalauan dengan tekad membenahi potensi yang dimiliki dan mengayomi daerah-daerah sebagai pembina, pengawas, fasilitator, koordinator dengan memberikan produk jasa publik berupa pedoman, standar, bimbingan, pelatihan, arahan dan supevisi di bidang kimpraswil secara profesional. 

Reformasi segala bidang kehidupan nasional seharusnya menyentuh perubahan pola pikir dan kerja yang lebih konstruktif terutama bagi aparatur pemerintah Pusat-Daerah sebagai pemegang kendali pemeritahan, yaitu dari pola pikir yang teoritis-teknis dirubah menjadi praktis-filosofis. Dan sebagai konsekuensinya, perubahan itu juga harus membawa positive-impact bagi segenap personil mulai dari coffee-boy, staf, pejabat eselon IV-I hingga pucuk pimpinan departemen / kabinet. 

Dengan mengoptimalkan potensi SDM Pusat-Daerah, diharapkan bisa mendorong pembenahan idealisme yang lebih konstruktif, kondusif, kreatif dan inovatif menyelesaikan masalah, termasuk pelaksanaan Otda. Pembenahan idealisme selain meningkatkan produktivitas kinerja organisasi / instansi, juga akan memperbaiki kinerja individual characer building yang trusty, honesty, transparancy, fairly dan accuracy

Jika masalah dasar SDM Pusat-Daerah ini bisa ditingkatkan, maka kualitas manusia Indonesia akan meningkat derajatnya dan mampu bersaing di era Globalisasi 2020. SDM Pusat-Daerah yang mantap IQ, EQ dan SQ akan mampu mengemban tugas berat menata kembali rumah tangga bangsa yang carut-marut membangun menuju Indonesia Baru yang dicita-citakan. 

Dirjen Bangda Depdagri melalui makalahnya; “Pemanfaatan Sistem Pengukuran Strategi Berbasis Scorecard Sebagai Alat Peningkatan Kinerja Organisasi Pemerintah” di Seminar “Mengukur Kinerja Institusi Pemerintah Di Era Otonomi Daerah Melalui Government Scorecard” tanggal 6 Nopember 2001 di Jakarta, menulis konklusinya sebagai berikut; 

Sistem pengukuran kinerja yang baru itu bagi lembaga pemerintah pada akhirnya akan memiliki karakteristik antara lain:
  • Mampu menjelaskan misi pemerintah pada seluruh masyarakat,
  • Mampu mengidentifikasi indikator kepuasan dari para stakeholder pemerintah daerah / institusi pemerintah sebagai tolok ukur keberhasilan kinerjanya,
  • Mampu menerjemahkan misi pemerintah daerah / institusi ke dalam indikator-indikator obyektif, transparan dan terukur,
  • Mampu mengidentifikasikan persyaratan proses kerja dan SDM yang dibutuhkan untuk pencapaian misi dan strategi. 
Konklusi itu menjadi pelengkap (pembanding) bagi Depkimpraswil dalam menyusun langkah-langkah strategis, yaitu:
  1. Menyusun skala prioritas masalah berkaitan Otonomi Daerah,
  2. Secara paralel dibentuk tim penyusun ”buku putih” Depkimpraswil sebagai pegangan kerja, wacana bagi lembaga lainnya, bagi Daerah, stakeholders dan masyarakat umum. Tim penyusun terdiri dari tim ahli/ pengarah/filosofis, teknis, birokratis yang benar-benar berpengalaman dan kompeten di bidangnya. Isi “buku putih” itu terdiri;
  • Penjelasan Keppres 102, menjabarkan visi-misi-strategi;
  • Kebijakan peraturan, kriteria, standar, norma, pedoman, prosedur dan lain-lain di bidang kimpraswil;
  • Pendidikan dan Latihan, Kursus Penjenjangan (PIP, Adum, Spama, Spamen, Spati dst-dst) mengembalikan substansi esensi kualitas pendidikan, bukan sekedar kuantitas pengajaran;
  • Adanya kaderisasi bagi staf muda yang berpotensi;
  • Proyek Pusat-Daerah harus koordinatif sehingga tidak terjadi tumpang-tindih (overlapping) kesamaan proyek yang ditangani;
  • Fit and proper test bagi kandidat pejabat struktural strategis mulai asisten pimpro, pimbagpro, pimpro, kasi, kasubdit, direktur hingga dirjen di Pusat; hal yang sama diberlakukan di Daerah sesuai jabatan struktural di Daerah; 
  • Sangsi dan penghargaan bagi pelanggaran dan prestasi, sehingga mendorong tanggung jawab personil setiap lini organisasi; 
  • Memberdayakan jabatan fungsional dengan mengembangkan upaya karya tulis dan diskusi secara berkala sesuai perkembangan isu masyarakat baik di Pusat maupun Daerah; 
  • Adanya satu media informasi Depkimpraswil yang menjembatani informasi pembangunan Pusat-Daerah dan menampung ide-ide konstruktif, kreatif dan inovatif dari semua pihak; 
Semua langkah-langkah strategis itu harus terakumulasi menjadi wawasan kebangsaan dan jiwa kerakyatan. 

9. Kesimpulan 

Setelah menguraikan benang kusut semua permasalahan yang ada, tampaklah bentuk sebenarnya dari apa yang menjadi kenyataan dengan apa yang diharapkan. Pada saat yang sama muncul peluang di antara banyak kendala untuk memperbaiki situasi dan kondisi nasional yang carut-marut. 

Adapun kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
  • Tuntutan reformasi untuk melancarkan pelaksanaan otonomi daerah bidang kimpraswil dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan tidak bisa selesai secara sepihak teoritis-teknis yang hanya melibatkan Depkimpraswil di Pusat dan unsur dinas-dinas yang terkait di Daerah; tetapi harus praktis-filosofis dan aparat Depkimpraswil menempatkan diri sebagai salah satu institusi dan sekaligus sebagai warga bangsa;
  • Pembenahan harus dilakukan secara gradual yang meliputi pemulihan semangat nasionalisme terutama bagi Daerah dan penyempurnaan total sispennas, pemberdayaan SDM Pusat-Daerah termasuk stakeholders dan masyarakat, pembenahan organisasi dan manajemen serta melakukan langkah-langkah strategis; 
Dengan demikian, upaya membangun sistem kerja terukur untuk melancarkan pelaksanaan otonomi daerah bidang kimpraswil dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, tidak sekedar bahan materi dalam seminar atau dokumentasi karya tulis saja; tetapi benar-benar bisa diwujudkan dalam waktu relatif singkat. 

Sistem kerja terukur itu adalah suatu pola kerja yang memiliki karakteristik dan ciri-ciri terpadu, terpantau, terkendali, terevaluasi. Terpadu mencakup seluruh bidang pembangunan; Terpantau meliputi pengawasan yang intensif; Terkendali sesuai dengan perencanaan; Terevaluasi memungkinkan check and balances

Piagam untuk Makalah: "Membangun Sistem Kerja Terukur…" (2001) 

Plato
========================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar