Pengantar Blog:
PADA kajian-kajian awal ini, setelah Pengembaraan Jiwa kemudian Makna Berserah Diri, perlu diingatkan kembali bahwa untuk memahami terlebih menghayati ke dalam laku akan semua hakikat ajaran agama (mulai dari Nabi Adam As sampai Nabi Muhammad Saw, baik yang "sempat" tercatat di dalam Kitab maupun yang tidak, di Timur Tengah maupun di belahan lain di dunia ini), tidak cukup hanya membaca atau mengikuti kajian demi kajian secara tekstual; namun harus konstekstual dan praktikal. Secara tekstual pun, kajian-kajian ini tidak mampu mengutip semua dalil tertulis. Sehingga untuk merasakan hingga mengamalkan pesan suci itu tidak lain adalah kembali kepada fitrah dan hakikat diri...
Fatwa di dalam kitab suci hendaknya diartikan secara jelas-lugas - walaupun tingkatan ilmu harus disesuaikan dengan tingkat kecerdasan seseorang sehingga perlu dibatasi juga. Namun ada satu pesan yang lebih penting adalah semua fatwa dari kitab suci itu diterjemahkan di dalam laku yang rahmatan lil 'alamiin, hidup penuh kasih hingga upaya-upaya nyata (realistis) perwujudan dari doa semoga semua mahluk berbahagia...
Jika dan hanya jika perilaku luhur tersebut dilaksanakan oleh semua pribadi umat beragama - minimal secara internal di dalam komunitasnya sendiri,...
***
Allah menyatakan bahwa tiada Ilah selain Dia,
yang menegakkan keadilan.
Para Malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian).
Tiada Ilah selain Dia, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. 18)
Sesungguhnya agama di sisi Allah hanya Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab,
kecuali sesudah datang kepada mereka pengetahuan,
karena dengki di antara mereka.
Barangsiapa kafir terhadap ayat-ayat Allah,
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. 19)
Surat Ali-‘Imran QS. 3:18-19
“…pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu
dan telah Kucukupkan padamu nikmat-Ku
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”
Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
dan telah Kucukupkan padamu nikmat-Ku
dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”
Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Surat al-Maa-idah QS. 5:3
Inti dari kajian ini adalah: “…Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab…” (QS 3:19).
Jika memperhatikan kembali kajian sebelumnya, ayat tersebut akan bersesuaian dengan Kajian 4: Perhitungan Tuhan, terutama ayat: "…Kami tidak membedakan antara seorangpun (dengan lainnya) dari rasul-rasul-Nya …” (QS 2:285).
Sumber ilmu dari Tuhan. Melalui para malaikat diturunkan kepada para rasul-Nya dan dicatatkan di dalam Kitab Suci masing-masing rasul, lalu diwariskannya kepada para sahabatnya. Hingga pada para sahabat semasa rasul masih hidup, tiada berselisih orang-orang yang diwarisi Kitab itu.
Gambar 2. Memurnikan Kembali Ajaran Tuhan dan Rasul-Nya
Dari gambar di atas dapat disimpulkan bahwa awal turunnya wahyu, tiada perbedaan di antara rasul-rasul Tuhan, baik yang berasal dari Arab maupun dari luar Arab, yang tercatat maupun yang tidak tercatat di Kitab. Dengan demikian, jika tiada perbedaan dari rasul-rasul Tuhan, maka tiada pula perbedaan hakiki di antara isi Kitab. Tiada perselisihan para Ahli Kitab dari umat mana pun yang mengaku dan menjalani tauhid, karena perbedaan hanya pada cover, scene, pelaku dan catatan redaksional kitab. Sedangkan pesan spiritual tetap sama yaitu tauhid.
Pada bahasan akhir Kajian 5: Tiada yang Tersembunyi, menjelaskan bahwa makna ‘aslama bukan berarti harfiah dalam kodifikasi “agama islam” secara eksklusif-institusional. Pemahaman hakikat “Islam” yang bersumber dari kata ‘aslama harus melalui pendekatan inklusif-intuisional. Sedangkan hakikat “Tuhan” adalah Yang Mahaesa (Tunggal) di semua aspek fenomena. Agama sebagai media dan rasul sebagai perantara memiliki konsep tunggal mengajarkan tauhid atau monoteisme. Ada pun keragaman “nama” Tuhan dan agama serta jumlah rasul yang kuantitatif bersifat redaksional, regional dan situasional. Sedangkan inti semua ajaran tetap tauhid atau TUNGGAL.
Hendaknya umat beragama tidak terjebak pada sekedar artikulasi nama dan istilah linguistik, tetapi tidak mendalaminya secara esensi dan perilaku utuh dari cara berpikir, bersikap dan bertindak. Istilah atau nama di dalam terminologi keagamaan hendaklah diartikan dan dihayati lebih universal daripada sekedar pengertian kosa kata dalam bahasa atau budaya setempat, di mana agama itu diturunkan Tuhan.
Misalnya kata “masjid” yang berarti tempat sujud atau sembahyang. Jika gereja, kuil, pura, sinagoge berfungsi untuk itu, maka tempat-tempat itupun bisa disebut masjid sebagai tempat bersujud kepada Tuhannya dan harus dijaga kesuciannya. Juga kata “islam” dari kata ‘aslama yang artinya selamat atau berserah diri pada Tuhan. Penganutnya harus bisa memberikan keselamatan bagi semua mahluk dan alam semesta. Maka, jika manusia sebelum diketahui agamanya melalui KTP-nya sudah bersikap mengabdi kepada Tuhan, berbakti untuk kemanusiaan, menebarkan cinta kasih, berdoa agar semua mahluk berbahagia, mereka bisa disebut islam secara esensi.
Jika umat beragama terjebak pada literatur-linguistik, akan terjadi sikap mementingkan dan membenarkan diri sendiri, ego kelompok, menyalahkan orang lain, mengingkarkan kelompok lain, berkembang sikap mencurigai bahkan sesama agama. Meneladani sikap rasul haruslah dari mental, jiwa dan “cahayanya”, tidak sekedar dari baju luarnya yang bersifat eksklusif.
Sekali lagi, kajian “berserah diri” atau ‘aslama di sini bukan sekedar kodifikasi agama sebagai produk manusia yang terdiri berbagai macam rukun, halal dan haram serta kewajiban ritual lainnya. Tetapi makna ‘aslama di sini lebih ditekankan pada sikap berserah diri sepenuhnya jiwa-raga antara si mahluk dengan Sang Khaliqnya.
Umat beragama hendaknya memahami bahwa semua yang di langit dan di bumi bertasbih memuji Tuhannya. Mulai mahluk mikro kromoson hingga makro galaksi semuanya bertasbih memuji-Nya.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Tuhan. Dan tidak ada sesuatu pun selain bertasbih memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya, Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. 44)” (QS. 17: 44)
Mengapa manusia tak menyalahkan cara bertasbihnya seluruh mahluk di langit dan di bumi yang berlainan dengan cara bertasbihnya manusia, misalnya cara bertasbihnya matahari, gerak planit, angin, hewan, tumbuhan, laut, gunung dan lain-lain? Mengapa manusia lebih memilih menyalahkan cara ibadat kelompok manusia lain yang berbeda “agama”. Cara, begitu pula nama, bahasa, istilah dan pengertian memang bisa sangat berlainan. Tetapi proses pencerahan, perilaku dan tujuan itu yang TUNGGAL.
Manusia yang telah terpengaruh bisikan iblis akan cenderung bersifat sombong, mau menang sendiri dan merasa benar sendiri. Kebenaran diukur menurut kemauannya sendiri. Karena itu, iblis paling suka merasuki orang yang sekedar menunaikan kewajiban ibadat secara fisikal, setengah-setengah dengan menghembuskan egoisme seakan-akan ibadatnya paling benar dan yang lain salah. Sifat itu tanpa disadarinya bukan sifat ‘aslama, tetapi kufur, pengingkaran dari fitrah. Kriteria orang yang “benar” bukan diukur dari “baju agama” yang dianutnya, tetapi sikap dan perilaku kejiwaan, mental, akhlaq dan sikap ‘aslama lainnya.
Manusia sebenarnya tidak berhak menilai sesama manusia, apalagi menilai diri sendiri dan kelompoknya yang paling benar apalagi paling suci.
Firman Tuhan pada QS. 53:32, “…Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunanNya. Dan Dia lebih mengetahuimu saat Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu… …maka jangan kamu katakan dirimu suci. Dia yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa. 32)”
Tidak semua orang di dalam satu kelompok, suku, sesama agama adalah benar semua atau salah semua. Demikian pula pemahaman bahwa Tuhan hanya “dikenal” oleh satu umat saja dan sebaliknya Tuhan itu hanya melihat satu umat secara eksklusif.
“Hai orang-orang beriman jangan suatu kaum mengolokkan kaum lain, boleh jadi mereka (yang diolokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolokkan)… dan jangan kamu mencela dirimu dan jangan kamu panggil gelar-gelar buruk… Hai orang-orang beriman, jauhilah prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan sebagian kamu menggunjing yang lain...” (QS. 49:11-12)
Waspada dalam memegang teguh kemurnian ajaran agama tidak harus dengan curiga. Jika ada oknum penganut agama lain berikap sentimen atau mengancam eksistensi suatu umat lain, haruslah diteliti kebenarannya dan tidak hantam kromo, gebyah uyah bahwa agama lain itu salah, ingkar dan harus dihadapi dengan jihad secara membabi buta. Pengacau tidak harus dari kalangan luar, bisa jadi pengkhianatan dari dalam yang disesatkan setan dengan menjual agamanya sendiri dengan harga murah.
Jika datang orang fasik membawa berita, maka periksa dengan teliti, agar tidak menimpakan musibah pada suatu kaum tanpa ketahui keadaannya yang menyebabkan menyesal atas perbuatannya… Tuhan telah menjadikan orang-orang yang beriman cinta pada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati serta menjadikan mereka benci pada keingkaran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itu yang mengikuti jalan lurus, sebagai karunia dan nikmat Tuhan. Dan Tuhan Maha Mengetahui lagi Bijaksana. Dan jika ada 2 golongan orang mu'min perang, maka keduanya harus didamaikan. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap golongan lain maka golongan yang berbuat aniaya itu harus diperangi sehingga kembali pada perintah Tuhan; jika golongan itu telah kembali, maka keduanya didamaikan dengan adil, dan hendaknya berlaku adil. Sesungguhnya Tuhan menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu saudara sesama mu’min harus didamaikan, dan agar merela bertaqwa pada Tuhan agar mereka mendapat rahmat.” (QS. 49:6-10)
Agama pada intinya mengajarkan berserah diri pada Tuhan, mengajar akhlaq yang baik (akhlaqul karimah) dan menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamiin), termasuk kepada umat berbeda agama – selama pemeluknya menjalankan ajaran agamanya sendiri dengan baik. Jangankan mengafirkan, menyalahkan, mencaci, mengolok-olokkan atau mencari-cari kesalahan orang, bahkan menggunjing dan berprasangka pun dilarang pada Surat al-Hujurat QS. 49:12 karena sebagian prasangka itu dosa.
Tidak berprasangka sifatnya sangat lembut, sehingga mengajarkan pada sikap hati-hati, teliti dan adil. Bahkan mencela (dan memuji) diri sendiri pun tidak diperbolehkan. Demikian pula memanggil seseorang atau kaum dengan gelar buruk-buruk. Inilah ajaran agama yang sebenarnya dari sisi hibungan kemanusiaan (muamalah). Alangkah indahnya ajaran itu …
Firman Tuhan pada QS. 19:96, “Sesungguhnya orang-orang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan tanamkan di dalam (hati) mereka kasih sayang.”
6.1. Manusia Umat yang Satu
Menurut QS. 2:213, manusia itu umat yang satu, keturunan satu jiwa, Nabi Adam. Perselisihan mulai timbul ketika anaknya Habil dan Qabil memperebutkan isteri pasangan silangnya. Anak beranak, kaum demi kaum lahir setelah timbul perselisihan itu. Tuhan lalu mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Tuhan pun menurunkan bersama mereka kitab untuk memberi keputusan dari perkara yang diperselisihkan. Tetapi, tidaklah berselisih di antara isi kitab itu selain para penafirnya karena rasa dengki antara mereka – meskipun rasa dengki itu sifatnya sangat halus. Maka Tuhan memberikan petunjuk bagi orang-orang beriman soal kebenaran tentang apa yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Tuhan selalu memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.
Pada QS. 40:78, bahwa Tuhan tidak saja mengutus rasul di Arab yang tercatat di Kitab. Ada rasul-rasul di luar Arab, tidak tercatat di Kitab. Sesungguhnya Tuhan telah mengutus beberapa rasul sebelum Muhammad, di antaranya ada yang diceritakan di Kitab dan ada yang tidak.
Dari isyarat di atas sangat jelas bahwa manusia itu umat yang satu (kaana ‘annasu ummatan waahidatan). Manusia berasal dari Nabi Adam. Penciptaan Siti Hawa diambil dari bagian tubuh Nabi Adam. Kelahiran Habil dan Qabil secara biologis dari perkawinan Nabi Adam dan Siti Hawa memulai peradaban manusia. Agama secara kultur belum ada waktu itu. Anak-anak Nabi Adam, yaitu Habil dan Qabil, masing-masing mewakili jalan ketaqwaan dan kefasikan.
Perkembangan anak cucu Adam menyebar ke segala penjuru dunia. Jadi tidak saja di Arab, tetapi juga di India, Cina, Mongolia, Tibet dan lain-lain suku-suku dan bangsa-bangsa yang memiliki sejarah kuno di dunia.
Firman Tuhan pada QS. 2:147-148, “Kebenaran itu dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang ragu. 147) Bagi tiap umat ada kiblat yang ia menghadap padanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu (di hari kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala suatu. 148) ”
Mereka yang bisa merasakan kebenaran memiliki indikasi kepribadian yang mantap, cerdas, tiada ragu, berwibawa dan menyejukkan semua umat.
Untuk tiap-tiap umat di antara manusia, Kami telah memberi aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Tuhan menghendaki, niscaya manusia akan dijadikan-Nya satu umat, tetapi Tuhan hendak menguji manusia terhadap pemberian-Nya pada mereka, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya pada Tuhan kembali manusia, lalu diberitahukan-Nya apa yang telah mereka perselisihkan itu. (QS. 5:48)
Banyak isyarat yang disampaikan al-Qur’an, bagaimana masing-masing individu dan umat harus bersikap pada umat lain. Mulai tidak berprasangka baik kepada diri sendiri maupun orang atau umat lain, hingga bersikap kasih sayang dan adil terhadap diri sendiri dan kepada orang lain. Untuk kasus tertentu terutama berhubungan dengan Tuhan dan peribadatan, manusia tak berhak menghakimi antar manusia lain. Seperti QS 5:48 di atas, jelas bahwa untuk tiap-tiap umat, Tuhan memberi aturan dan jalan terang. Jika Tuhan menghendaki niscaya manusia dijadikan satu umat. Kasus ini milik Pribadi Tuhan, tugas manusia berlomba-lomba berbuat kebajikan.
Pada masing-masing bangsa diutus rasul. Tidak adil jika Tuhan hanya memperhatikan Bangsa Arab dan menurunkan nabi dan rasul di sana saja. Keadilan Tuhan merambah ke sudut bumi, merasuk ke tempat paling dalam di nurani manusia. Setiap manusia diilhami jalan ketaqwaan dan kefasikan. Para ahli kitab di kalangan mereka semula tidak berselisih. Baru ketika ada unsur dengki yang halus sifatnya, masing-masing mengklaim paling benar, tidak mau mengakui kenyataan universalisme, humanisme, diferensialisme yang manunggal dalam satu sikap berserah diri (‘aslama).
6.2. Berserah Diri dan Keselamatan
Firman Tuhan pada QS. 2:132, “Dan Ibrahim telah mewasiatkan itu kepada anak-anaknya, begitupun Ya'kub. (Kata Ibrahim) “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka jangan kau mati kecuali dalam Islam".
"Hai orang-orang beriman, taqwalah pada Allah sebenar-benarnya taqwa pada-Nya, dan jangan sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan (beragama) Islam. 102)" (QS. 3:102)
Islam secara “kodifikasi agama” belum ada pada masa Ibrahim jika mengacu Rukun Islam yang lima, yaitu: (1) Syahadat, (2) Sholat 5 Waktu, (3) Puasa Ramadhan, (4) Zakat dan (5) Haji. Tetapi, Hakikat Islam yang diterjemahkan dan ditafsirkan sebagai suatu “sikap berserah diri” (‘aslama) secara “ruh”, selalu ada di mana-mana tidak tergantung ruang dan waktu bagi siapa saja yang hendak berserah diri pada Tuhan. Dualisme pemahaman Islam sebagai pasangan – yaitu “kodifikasi agama” dan “ruh” berserah diri – akan selalu menimbulkan interpretasi yang berbeda.
Makna “islam” adalah kata benda dari sikap atau sifat ‘aslama dan orangnya disebut “muslim” yaitu berserah diri bagi semua orang, siapa saja kepada Tuhannya. Berserah diri ini lain maknanya dengan menyerahkan diri yang berkonotasi pasif, pasrah tanpa mencari kebenaran usaha, berkesan kesalahan dan kekalahan. Tetapi berserah diri di sini merupakan kesadaran sepenuhnya dari hamba yang telah mengetahui hakikat diri dan Tuhannya.
Beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan sikap berserah diri,
- “Ibrahim bukan Yahudi dan Nasrani, akan tetapi dia termasuk orang yang lurus lagi berserah diri …” (QS. 3:67)
- "Ketahuilah, al-Qur'an diturunkan dengan ilmu Allah dan tiada Ilah selain Dia, maukah kau berserah diri?" (QS. 11:14)
- “Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat. Dan Kami turunkan padamu al-Kitab (al-Qur'an) untuk jelaskan segala suatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang berserah diri”. (QS. 16:89)
Nabi Muhammad telah menjadi saksi bagi seluruh umat. Demikian pula al-Qur’an memang untuk seluruh umat manusia, karena al-Qur’an penyempurna kitab sebelumnya seperti Taurat, Zabur, Injil dan lain-lain kitab yang tidak sempat dibukukan. al-Qur’an tidak menyebut spesifik “agama” apa yang harus dianut. Dengan demikian, ‘tidak serta merta’ umat terdahulu ‘melepaskan’ kitabnya, merubah cara ibadat dan ‘pindah agama’ tanpa bisa menghayati ‘aslama yang bahkan mungkin telah mereka lakukan sebelumnya. Islam adalah ‘agama’ dan ‘sistem’ sekaligus…
Agama lebih menekankan pada yang belum beriman menjadi beriman. Jika umat lain telah beriman dan ‘aslama sesuai ajaran agamanya dan membawa kebaikan pada sesama manusia dan alam semesta, maka misi yang dilakukannya adalah “berlomba-lomba di dalam kebaikan”, bukan misi memasukkan umat lain ke dalam agamanya. Istilah agama Islam adalah “bagiku agamaku, bagimu agamamu” yang dilaksanakan setulus-tulusnya, tidak saling mengganggu apalagi menyalahkan.
Kesalahan persepsi atau penafsiran Kitab Suci amat lazim terjadi pada semua umat beragama karena keterbatasan intelektual dan perilaku spiritual. Tetapi selama itu dilakukan di dalam kerangka tauhid dan mencari kebenaran hakiki, Tuhan pasti akan memahami dan mengampuninya, bahkan akan memberi petunjuk mencapai Ridho-Nya. Tidak mudah memberi penilaian salah atau benar perihal peribadatan dan soal tauhid, karena itu sepenuhnya wewenang Tuhan yang Maha Pencipta, Mahabenar.
Selain sikap berserah diri, makna “islam” juga berarti “roh”nya salaam atau keselamatan. Ayat al-Qur’an yang menjelaskan keselamatan yaitu:
- Dengan kitab itu Tuhan menunjuki orang-orang yang mengikuti Ridha-Nya ke jalan keselamatan dan Tuhan mengeluarkan dari gelap gulita pada cahaya benderang seizin-Nya dan tunjuki mereka jalan lurus. (QS. 5:16)
- Keselamatan dilimpahkan pada orang yang ikuti petunjuk. (QS. 20:47)
Makna ‘aslama dari berserah diri hingga mencapai keselamatan atau salaam mempunyai proses penyelamatan di antara keduanya. Selengkapnya ‘aslama itu mulai dari berserah diri, penyelamatan, keselamatan. Di dalam al-Qur’an banyak tertulis “Kami selamatkan,” atau “Allah selamatkan”. Berikut petikannya: (1) Musa dan pengikutnya dari fir’aun dan tentaranya (QS. 2:49), (2) Nuh dan pengikutnya dari banjir (QS. 7:64, QS. 10:73), (3) Hud dan pengikutnya dari musuh, yaitu kaum ‘Ad (QS. 7:72), (4) Shaleh dan pengikutnya – kecuali isterinya, dari hujan batu yang menimpa kaumnya yaitu kaum Tsamud (QS. 7:83-84), (5) Syu’aib dan pengikutnya dari bencana yang menimpa penduduk Madyan (QS. 11:94-95), (6) Luth dan pengikutnya, kecuali isteri, dari hujan batu (QS. 26:169-175).
Beberapa penjelasan di atas merupakan proses penyelamatan dalam arti harfiah, konkrit dan fisik sebenarnya. Selain itu ada proses penyelamatan dalam arti substantif diselamatkan dari pikiran sesat, mendapat petunjuk, pencerahan dan lain-lain. Misalnya ketika Tuhan mengeluarkan orang-orang beriman dari gelap menuju cahaya atau pencerahan sesuai kemampuannya.
“Tuhan Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka (yukhrijuhum) dari kegelapan (ingkar) pada cahaya (iman). Dan orang-orang ingkar, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya pada kegelapan (keingkaran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. 2:257)
Ayat di atas ada simbol pemilahan kebenaran-kebatilan. Tetapi banyak orang dengan mudah memilah bahwa agamanya benar dan yang lain salah. Sebelum seseorang menghayati agamanya secara haq, ia belum mampu memilah kebenaran-kebatilan secara haq pula. Kalau pun ia telah memahami agamanya, maka ia pun “asyik” dengan agamanya tanpa mencampuri agama orang lain. Jika berhubungan dengan sosialisasi masyarakat yang heterogen, ia pun berbaur tanpa menggurui jika memang tidak dimintai pendapatnya.
Banyak umat yang masih perlu memperbaiki diri di dalam agamanya untuk “berserah diri pada Tuhan” agar mencapai kondisi keselamatan atau pencerahan. Banyak umat yang ternyata belum mengalami pencerahan diri tetapi sibuk mengurusi orang lain, bahkan agama lain. Jika diruntut prosesi “pencerahan”, maka secara sederhana penjelasannya adalah sebagai berikut:
- Menerima ayat-ayat Tuhan yang disampaikan oleh para nabi dan rasul,
- Mengadakan perbaikan dan berserah diri,
- Interaksi dengan Tuhan melalui peribadatan, melakukan penyelamatan untuk diri sendiri, orang lain dan lingkungannya,
- Menjadi selamat, memberikan keselamatan dan kedamaian bagi yang lain termasuk alam lingkungan.
Firman Tuhan pada QS. 2:112-115, “(Tidak demikian) dan bahkan siapa yang menyerahkan diri pada Allah sedang ia berbuat kebajikan, baginya pahala di sisi Tuhan-nya dan tiada khawatir terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati 112)… Dan kepunyaan Allah Timur-Barat, ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. 113-115)”
Siapa yang berserah diri secara benar, pasti tidak kuatir dan tidak sedih. Sebaliknya, walaupun misalnya beragama Islam tetapi masih merasa kuatir dan sedih, maka mereka belum ber-Islam secara benar. Contoh sederhana soal salam assalamu‘alaikum warohmatullahi wabarokatuh yang memuat pesan keselamatan, rahmat dan barokah bagi saudara yang ditemuinya. Begitu pula contoh salam umat lain yang penuh cinta kasih semisalnya saja: di 4 penjuru mata angin adalah saudara atau semoga semua mahluk bahagia.
Salam ini diilhami sapaan selamat bagi penghuni surga baik dari Tuhan, malaikat dan penghuni surga lain. Keterangan itu seperti dijelaskan pada Firman Tuhan QS. 10:9-10, QS. 13:22-24, QS. 19:60-63 dan lain-lain.
Mengucap salam secara lisan pasti sangat mudah dilakukan tiap orang. Tetapi tidak semuanya mampu merealisasikan bahwa ucapan salamnya akan menjamin memberikan keselamatan, rahmat dan barokah kepada mereka yang diberikan salam selama mereka bertemu.
Filsofinya adalah sebagai berikut: Ucapan salam adalah berharap semoga Tuhan Yang Mahaesa selalu memberi keselamatan lahir-batin, rahmat yang telah dikaruniakan kepada mereka dan rahmat itu membawa barokah bukan musibah. Dengan ucapan salam itu, si pemberi salam juga harus berusaha menjaga sikap dan tutur kata yang senantiasa menjaga keselamatan, rahmat dan barokah kepada teman bicaranya. Interaksi yang terjadi harus di dalam kerangka selamat-rahmat-barokah.
6.3. Tiada Paksaan dalam Berserah Diri
“Tiada paksaan untuk agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa ingkar pada Taghut dan iman pada Tuhan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Tuhan Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. 256) Tuhan Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) pada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluar-kan mereka dari cahaya pada kegelapan (kekafiran). Mereka adalah penghuni neraka; kekal di dalamnya. 257)” (QS. 2:256-257)
Pada dasarnya ayat itu menekankan tiada paksaan di dalam beragama (laa ‘ikraha fi’ddiini), tidak disebut agama institusi secara harfiah. Kata “memasuki” dan “islam” di dalam kurung adalah tafsir. Secara lebih meluas, di dalam sikap ‘aslama pun tidak ada paksaan atau konflik dalam dirinya. Semuanya berjalan secara ikhlas dan diridhoi Tuhan. Pemahaman ini belum banyak diketahui oleh umat awam dan seluruh manusia.
6.4. Tiada Perdebatan bagi yang Beriman
Banyak umat beragama berhenti pada syari’at, hukum dan rukun ibadat secara fisik saja. Mereka tidak melanjutkan pada tangga berikutnya seperti tarekat, hakikat dan ma’rifat. Sebenarnya hukum itu sendiri tak harus kaku.
Misalnya peribadatan formal bagi umat Islam harus menghadap kiblat sebagai simbol kesatuan umat. Tetapi ibadat secara khusus, misalnya sedang di perjalanan, maka ketentuan hukum tadi bisa gugur.
Firman Tuhan pada QS. 2:115, “Dan kepunyaan Allah-lah Timur-Barat, ke manapun kamu menghadap, maka di situ wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (Rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Demikian pula soal hukum lain yang fleksibel tetapi harus ditempatkan secara wajar dan bukan diada-adakan. Misalnya ketika Nabi Muhammad menghadapi persoalan umat yang batal puasa karena khilaf “berhubungan” dengan istrinya. Kisah ini sudah populer bagi umat Islam. Nabi Muhammad sangat fleksibel, arif dan bijaksana. Ini perlu diteladani para ahli kitab dan ulama sesudah zaman Nabi Muhammad, terutama pada masa modern kini yang heterogen permasalahannya; tetapi tetap bijak berpijak pada dasar ketelitian dan keadilan. Isyarat di dalam al-Qur’an ini hendaknya membuat umat Islam kritis, peka sekaligus adil jika menghadapi setiap permasalahan. Begitu juga dengan hadits Nabi Muhammad yang harus ditafsirkan secara jernih sehingga dalam menyampaikan ajaran agama tak ada pemaksaan kehendak, ingin menang sendiri atau menyalahkan orang lain.
al-Qur’an sebagai Kitab Samawi terakhir tidak menyalahkan kitab yang sebelumnya, dan Nabi Muhammad pun tidak pernah menyalahkan nabi-nabi sebelumnya; karena telah dijelaskan bahwa: "…Kami tidak membedakan antara seorangpun (dengan lainnya) dari rasul-rasul-Nya…” (QS. 2:285) dan “…Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab…” (QS. 2:19)
Orang yang beriman takkan mengklaim dirinya pasti masuk surga dan yang lain di luar agamanya masuk neraka. Mereka yang beriman di dalam agamanya masing-masing pasti tidak akan mencampuri ibadat agama lain.
Firman Tuhan pada QS. 5:69, “Sesungguhnya orang Mukmin, Yahudi, Shabiin dan Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar iman pada Allah, Hari Akhir dan amal saleh, maka tiada khawatir terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Firman Tuhan pada QS. 2:62, “Sesungguhnya orang-orang Mu'min, Yahudi, Nasrani dan Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman pada Allah, Hari Akhir dan amal saleh, mereka akan terima pahala dari Tuhan, tiada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. 62)”
Kedua ayat di atas ditekankan pada “siapa saja” berserah diri sepenuh jiwa-raga pada Tuhan, mengadakan perbaikan, beramal saleh, percaya pada hari akhir, berbuat kebajikan dan semua sifat mulia lainnya. Itulah ‘aslama atau berserah diri pada Tuhan. Demikian pula makna iman dan taqwa yang harus dipahami menyeluruh (periksa Kajian 49: Iman dan Taqwa)
Firman Tuhan pada QS. 49:13, “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Berserah diri sebagai manifestasi ‘aslama bukan berarti pasrah secara taqlid dogmatis tanpa usaha. Bersikap pasrah setelah ikhtiar dan akhirnya mengembalikan segala sesuatunya kepada Tuhan adalah sikap berserah diri yang berakhir pada iman dan taqwa. Karena, pada pemahaman tertentu, manusia tidak berhak mengklaim sekecil apapun sebagai miliknya. Bahkan apa yang terdapat pada dirinya dan yang melekat di tubuhnya, itupun bukan miliknya. Bahkan juga terhadap diri sendiri, ia tidak berhak mengaku memilikinya dengan dalih hak azasi. Semuanya itu milik Allah, Tuhan yang memiliki semesta alam.
Dengan keyakinan ini ajaran agama yang dianut akan mengembangkan makna pada sikap ‘aslama (berserah diri) pada Tuhan secara benar menurut Tuhan, bukan menurut manusia. Itulah agama yang diridhoi Allah, bukan agama sebagai institusi tetapi sebagai intuisi, bukan eksklusif tetapi inklusif.
Sebetulnya orang yang diberikan Kitab Samawi tidak akan berselisih tentang hal itu hingga datangnya pengetahuan sekuler padanya yang memicu rasa dengki. Kitab Samawi di dalam hal ini tidak sesempit arti al-Qur’an secara tekstual, tetapi al-Qur’an kontekstual. Biasanya inti Kitab Samawi merasuk ke hati, apa pun ajaran kebaikan dan kebenaran yang diberikannya. Misalnya cinta kasih dan amal saleh, kepedulian akan masalah kemanusiaan dan lain-lain. Tidak ada perbedaan ucapan salam dari satu agama dengan agama lain, misalnya “di segala empat penjuru mata angin adalah saudara” atau “semoga semua mahluk berbahagia” atau ucapan “assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh”.
Pengetahuan sekuler memang melalui logika yang penuh ego. Jika pertimbangan berhenti pada logika, tidak diteruskan ke hati nurani, maka akibatnya Ahli Kitab pasti akan berselisih. Dengan ilmu sekulernya, banyak dalil Kitab Suci diungkapkan sepihak, seolah ia sendiri yang benar dan yang lain salah. Sikap keliru ini banyak dilegitimasi dengan dalil-dalil ilmiah yang semakin menjerumuskan umat.
Seorang guru spiritual mengisahkan cerita antara 2 guru dan 2 murid yang berbeda agama. Antara murid bererdebat soal ketuhanan, adu argumen berbagai dalil dan pelajaran yang telah diperolehnya. Terjadilah debat sengit, tidak mencapai kesepakatan, saling membenarkan diri sendiri, menyalahkan yang lain. Akhirnya mereka bersepakat mempertemukan dua gurunya agar mereka bisa mendengar uraian dalil gurunya secara lengkap. Tetapi apa yang dilihat saat 2 guru bertemu. Mereka hanya berpandangan lalu berpelukan. Setelah berpisah, si murid lantas bertanya pada gurunya, “Mengapa tidak ada debat, Guru?” Sang Guru berucap, “Jika manusia telah mengenal Tuhannya dengan benar, pastilah tidak akan ada perdebatan. Yang ada hanyalah rasa cinta kasih sesama mereka yang beriman.”
6.5. Sikap antar Umat Beragama
Kesimpulan kajian ini yaitu:
- Untukmu agamamu untukku agamaku,
- Tidak berprasangka, tidak menyalahkan,
- Untuk muamalah, bersikap santun, cinta kasih, menebarkan salam, keselamatan, kedamaian,
- Teliti terhadap masalah yang mendiskreditkan agama, karena pendusta agama bisa orang dalam sebagai provokatornya,
- Bersikap adil kepada semua pihak; termasuk kepada diri sendiri, sesama umat, antar umat dan lingkungan.
Terlalu banyak masalah internal sesama umat yang harus diselesaikan daripada terus menghujat, mencurigai dan mencari-cari kesalahan orang atau umat agama lain. Belum tentu yang menghujat lebih baik dari yang dihujat. Sebaliknya, belum tentu yang dihujat lebih buruk dari yang menghujat.
“…orang yang memecah belah agama menjadi beberapa golongan, tiada tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya itu urusan Tuhan, lalu Tuhan akan memberitahu yang apa telah mereka perbuat. Siapa yang beramal baik, baginya 10x lipat amalnya; dan siapa yang berbuat jahat, ia tidak diberi balasan selain seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. 6:159-160)
Firman Tuhan pada QS. 39:46, "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui barang ghoib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan di antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya".
Gambar 3. Keberagaman Agama, Kesatuan Tauhid
Puisi 6.
Untuk-Mu, Tuhan,…
Tuhan,…
Sesungguhnya ibadatku, puasaku, doaku, zikirku…
Sesungguhnya hidupku, istriku, anakku, rumahku, mobilku, pekerjaanku…
Sesungguhnya matiku, nyawaku, warisanku, semua amalanku…
Sesungguhnya semuanya itu untuk-Mu, Yaa Tuhan,…
Semuanya….
Bandung, 09.03.04
(Selasa 17 Muharam 1425 H, 11.08 WIB, hari ke-17)
========================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar