Pengantar Blog:
Kajian prioritas ketiga ini agak longgar. Namun, karena di lingkungan kantor telah berdiri sebuah masjid cukup bagus bernama "Baitul 'Ilmi" - selesai akhir Desember 2011, maka pada kajian ini ditampilkan Tentang Ilmu. Semoga semua masjid terutama yang berdiri dengan megahnya bisa ditindak lanjuti dengan berbagai kegiatan positif-konstruktif bagi mayarakat di sekitar masjid, membawa kemaslahatan untuk semua umat.
Tataran Tentang Ilmu ini juga menempati bahasan yang sangat luas dan kompleks. Pada intinya, Tuhan telah memberi manusia dengan karakteristik ilmu masing-masing. Sebagai contoh kongkrit - tanpa niat menonjolkan diri sedikit pun - bahwa turunan pertama dari buku konsep religi berjudul "Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang Menciptakan" (terdiri dari 50 kajian), sesuai profesi saya adalah buku konsep profesi berjudul "Pembangunan Infrastruktur berbasis Data, Peta GPS/GIS/IT dan prioritas Penanganan". Bagaimana dengan profesi lainnya? Dengan mendasari diri kepada ilmu-ilmu agama secara hakiki, Insya Allah, dengan mudahnya Tuhan membuka pintu ilmu yang lain bagi kita... Amien.
***
(Dia Tuhan) yang Mengetahui yang ghoib,
maka Dia tidak perlihatkan pada seorangpun tentang ghoib. 26)
Kecuali pada rasul yang diridhai-Nya,
maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)
di muka dan di belakangnya. 27)
Supaya Dia mengetahui,
sesungguhnya rasul-rasul itu
telah sampaikan risalah-risalah Tuhannya,
sedang ilmu-Nya meliputi yang ada pada mereka
dan Dia menghitung segalanya satu-persatu. 28)
Surat Jinn QS. 72:26-28
SALAH satu karunia besar yang diberikan Tuhab adalah ketika Tuhan menurunkan rejeki berupa ilmu pada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Macam ilmu biasanya tergantung kemauan dan kemampuan seseorang. Segala macam ilmu yang diturunkan Tuhan pada dasarnya bersifat positif. Dampak negatif terjadi karena manusia, bukan sifat ilmu.
32.1. Manusia, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Dari semua cabang ilmu pengetahuan, baik sekuler atau agama, asalnya atau cara perolehan ilmu pengetahuan bisa dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
- Keturunan,
- Proses belajar,
- Hikmah.
Ilmu dapat menurun melalui lompatan gen di dalam silsilah keluarga menurut Hukum Genetika Gregor Mendel. Tetapi itu biasanya tidak terjadi secara langsung satu generasi, misalnya dari bapak langsung ke anak. Bakat yang diwarisi biasanya hanya satu keahlian. Sehingga keturunan orang yang pintar intelektualnya kemungkinan mewariskan intelektualisme daripada emosionalisme dan spiritualisme. Secara genetika mungkin sifat bawaan menurun ke anak-cucunya, tetapi hal itu belum menjamin sepenuhnya.
Sketsa 11. Gregor Mendel
Proses belajar formal ditujukan proses tumbuh-kembang intelektual. Kelemahan proses belajar ini sekedar materi, kuantitatif, berlangsung dalam proses pengajaran bukan pendidikan. Formalisme ini juga belum menjamin kualitas intelektual seseorang. Sedangkan yang non-formal banyak dilakukan oleh emosional dan spiritual. Jika emosional dan spiritual 'dipaksakan' melalui lembaga pendidikan, hasilnya adalah kurator seni, ahli seni, sarjana dan ahli agama; bukan seniman, budayawan dan agamawan. Proses dinamis tumbuh-kembang emosional dan spiritual seseorang sifatnya lebih pribadi dibandingkan tumbuh-kembang intelektualnya.
Hikmah adalah cara perolehan langsung dari Tuhan. Istilah agamanya laduni, istilah populernya otodidak. Turunnya hikmah secara prioritas lebih dimulai dari spiritual hati, emosional dan disempurnakan oleh intelektual. Bisikan Tuhan selalu berawal dari spiritualisme, batin, kalbu, hati. Dan jika bisikan Tuhan atau hikmah ini dilanjutkan berkehendak yang diperintahkan hati nurani, maka hikmah itu bisa berkembang ke arah ide-ide lebih spesifik baik emosional maupun intelektual.
Intelektual (I), Emosional (E), Spiritual (S) sebenarnya berkaitan erat, bahkan seharusnya tak terpisahkan. Mereka ibaratnya tiga titik membentuk bidang segitiga yang sama sisi. Manusia haruslah menariknya di titik berat sehingga ketiga titik potensial mempunyai kedudukan seimbang. Tetapi I biasanya lebih dominan dan kesombongan sering kali meninggalkan E-S. Sedangkan E-S lebih akrab menunjang satu sama lain.
Demikian pula para ulama sufi yang seringkali menuangkan ungkapan jiwa sufistiknya melalui seni, baik melalui musik atau nyanyian, tarian, puisi dan lain-lain. Mereka tidak harus pintar, tetapi lebih bijak menyikapi hidup. Bahkan kebijakan yang keluar dari para ulama sufi, melalui perkataan dan perilakunya, seringkali tidak dapat dipahami orang awam.
Kata “ilmu” berasal dari bahasa Arab ‘ilmi yang berarti pengetahuan atau mengetahui. Jadi, apa pun yang diketahui manusia akan menjadi suatu produk bernama ilmu pengetahuan. Orang-orang yang berpengetahuan disebut 'ulul 'ilmi. Secara normatif ‘ulul ’ilmi biasanya berstatus orang yang berakal atau 'ulil 'albaab. Antara berpengetahuan dan berakal biasanya diawali dengan pengetahuan dahulu baru akal mencernanya kemudian. Orang yang banyak pengetahuan belum tentu banyak akal. Sebaliknya, orang yang banyak akal biasanya ditunjang dengan banyak pengetahuan.
Sifat ilmu pengetahuan ini amat terbatas karena keterbatasan organ otak dan proses nalar logika. Teknologi sebagai hasil rekayasa dari proses dan progress ilmu pengetahuan manusia sangat membantu perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Banyak eksperimen dilakukan para ilmuwan di laboratorium untuk memecahkan berbagai masalah secara ilmiah. Penemuan demi penemuan diraih oleh umat manusia. Jika pada masa lalu banyak yang belum diketahui, maka dengan kemajuan ilmu pengetahuan / teknologi, banyak rahasia alam terkuak di kemudian hari.
Secara simple, segala sesuatu yang terjangkau akal dan bisa dijelaskan secara ilmiah disebut pengetahuan karena bersifat apa adanya (real). Sedangkan di luar itu disebut ghoib (unreal). Satu hal yang berbahaya jika fenomena ghoib dipecahkan oleh jalan pintas melalui tesis sempit, bahwa: “Yang ghoib itu mustahil, tidak ada! Hidup harus berdasarkan kenyataan. Kepercayaan kepada yang ghoib harus dihilangkan agar terhindar dari angan dan keluh kesah yang menghambat kemajuan.”
Manusia modern terutama yang berpendidikan memadai, seharusnya bersikap bijaksana sebelum melontarkan kesimpulan. Sesuatu yang belum bisa dijelaskan ilmu pengetahuan saat ini, tidak harus buru-buru disimpulkan sebagai sesuatu yang mustahil. Sedikit demi sedikit yang unreal akan menjadi real sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi ia harus berkeyakinan bahwa pasti ada suatu ujung tak terhingga yang tidak mungkin dijangkau manusia dengan pengetahuannya.
Pengetahuan tidak harus menjadikannya sombong dan mengingkari eksistensi diri yang lemah. Orang-orang berilmu harus selalu meningkatkan pemahaman akan hakikat ilmunya. Ia harus menemukan inti-inti kebijakan sebagai puncak ilmu pengetahuannya. Jika ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh satu cabang ilmu, mungkin bisa dijawab cabang ilmu lainnya. Dengan melakukan interaksi dan itterasi antar cabang ilmu pengetahuan, serta melibatkan seluruh potensi ilmiahnya, manusia diharapkan semakin memahami eksistensinya di tengah-tengah alam semesta yang tidak terbatas. Potensi manusia yang terkait ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, potensi intelektual atau intelectual quotient (IQ) akan menghasilkan ketujuh cabang ilmu pengetahuan seperti dijelaskan sub-bab struktur ‘langit’ ilmu pengetahuan. Pengecualian ditujukan kepada ilmu seni-budaya dan agama secara tasawuf. Kedua ilmu itu tidak cukup menggunakan logika. Pelajaran seni-budaya dan agama yang masuk dalam kurikulum sekolah, akademi maupun universitas adalah kuantitas materi dan akan menghasilkan kurator seni-budaya dan sarjana agama; bukan seniman, budayawan dan agamawan. IQ di otak kiri berfungsi untuk berbicara menguasai tata bahasa, hingga dapat berbahasa dengan baik dan benar; membaca, menulis dan berhitung; daya ingat nama, waktu dan peristiwa; sifat logis, analitis, terarah pada satu persoalan, langkah-demi-langkah, dan rasional. Ini berhubungan dengan pembentukan kecerdasan yang penting untuk pendidikan formal.
Kedua, potensi emosional atau emotional quotient (EQ) merupakan sifat bawaan manusia yang bisa tumbuh kembang jika ia menyadari kemampuan khususnya di bidang seni, budaya, bahasa dan lain-lain yang melibatkan emosi ini. EQ di otak kanan pada dasarnya berfungsi untuk sifat intuitif; sifat waspada, atentif, berdaya konsentrasi; pengenalan ruang dan lingkungan; pengenalan diri dan orang lain; senang akan musik; kondisi emosi yang relatif stabil atau terkendali; proses sosialisasi, pembentukan kepribadian dan kemandirian; bersifat kreatif dan produktif.
Ketiga, potensi spiritual atau spiritual quotient (SQ) merupakan sifat azali/azasi manusia yang tak bisa diingkari bahwa ia merupakan pancaran dari Tuhan Yang Mahaesa, The Great Creator atau Allah. Pengingkaran terhadap Dzat yang serba maha itu lebih disebabkan pengaruh lingkungan yang dibisikkan ego menyesatkan sebagai cerminan yang disebut setan. SQ di hati berfungsi sebagai nurani membisikkan kebenaran, kejujuran, keadilan, keikhlasan, kemanusiaan dan ketuhanan.
Ada beberapa dalil tentang ilmu di al-Qur’an, terutama Ilmu Tuhan, yaitu: Sesungguhnya al-Qur'an diturunkan dengan ilmu Tuhan dan bahwa tidak ada Ilah selain Dia, maka maukah manusia berserah diri? (QS. 11: 14). Tuhan menurunkan al-Qur'an berbahasa Arab dan diterangkan berulang kali di dalamnya ancaman agar mereka bertaqwa, al-Qur'an menimbulkan pengajaran. Mahatinggi Tuhan, Raja sebenarnya dan jangan tergesa-gesa membaca al-Qur'an sebelum sempurna mewahyukannya dan katakan: "Ya Tuhanku, tambahkan padaku ilmu" (QS. 20:113-114)
Banyak ungkapan al-Qur’an yang menyebutkan Ilmu Tuhan meliputi langit dan bumi, di depan dan di belakang manusia, yang dilahirkan maupun yang disembunyikan, dan lain-lain. Tuhan Maha Mengetahui yang nyata dan ghoib, yang lahir dan batin, serta yang tampak dan tersembunyi.
Kelompok yang nyata, lahir dan tampak secara pasti bisa dirasakan kehadirannya oleh panca indera manusia. Sedangkan yang ghoib, batin dan tersembunyi bisa dirasakan kepekaan rasa manusia. Hal ghoib bisa muncul dan disentuh panca indera seperti mu’jizat Rasul di zaman dulu dan hal-hal supranatural di zaman kini. Tetapi ia tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan dan logika manusia. Hal ghoib hanya mampu dirasakan kehadirannya, dan akhirnya berkesimpulan bahwa ada Sang Mahaghoib yang menggerakkan semua kejadian itu.
“(Dia Tuhan) yang Mengetahui yang ghoib, maka Dia tidak perlihatkan pada seorangpun tentang ghoib.26) Kecuali pada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengaadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. 27)”
Hal ghoib yang disinggung di awal QS. 72. Jinn 26, diperlihatkan pada Rasul yang dikehendaki-Nya. Kejadiannya berstatus ghoib karena masih belum terpecahkan rahasianya. Hal ghoib itu disebut pula sebagai mu’jizat para Rasul dan Nabi. Beberapa hal ghoib dan mu’jizat itu di antaranya:
Nabi Musa diberi Tuhan 9 mu’jizat nyata (QS. 17:101) di antaranya tongkatnya memukul batu dan keluar 12 mata air (QS. 2:60), bisa berbicara langsung dengan Tuhan (QS. 4:164), tongkatnya menjadi ular (QS. 7:107), bisa membelah lautan (QS. 26:63-68), pertemuan dengan ibunya kembali dan disusui oleh ibunya (QS. 28:13-14),
Nabi Ibrahim menghidupkan burung yang mati tercabik (QS. 2:260), tidak terbakar api (QS. 21:69-70), ketika bermimpi mengorbankan Ismail dan menyembelinya, lalu dirubah-Nya anak kesayangan Ibrahim itu oleh Tuhan menjadi hewan sembelihan yang besar (QS. 37:101-111),
Nabi Sulaiman menundukkan angin kencang dan segolongan setan kerja padanya (QS. 21:81-82), tentaranya meliputi jin, manusia, burung; dan ia bisa berbicara dengan hewan (QS. 27 15:19),
Nabi Isa menghidupkan burung dari tanah liat, menyembuhkan orang buta dan orang sakit sopak, bahkan menghidupkan orang mati (QS. 3:49), proses ‘kematian’nya hingga ‘kebangkitan’nya (QS. 4:156-159), melalui doanya agar Tuhan menurunkan hidangan langit (QS. 5:114-115), lahir tanpa bapak dan bicara ketika masih bayi (QS. 19:16-40),
Berbagai kejadian ghoib yang dialami para Rasul tersebut tidak lepas dari pekerjaan malaikat, ”maka sesungguhnya Dia adakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya.” Sedangkan pembagian ilmu ghoib dan ilmu nyata dibagi menjadi:
- Ilmu Ghoib mutlak – hanya Tuhan yang tahu,
- Ilmu Transisi antara ghoib dan nyata – hanya pada orang-orang tertentu yang mampu mengetahuinya,
- Ilmu Nyata mutlak – semua orang bisa melihat dan mengetahuinya.
Dalam memahami ilmu nyata, semi nyata-ghoib hingga ghoib mutlak, manusia harus melakukan ikhtiar. Sedangkan untuk masalah teknis-ilmiah harus melalui jalur methodologi ilmiah, yaitu:
- Ada masalah,
- Pengamatan disertai pengambilan data (survey) berupa data, angka, gambar, peta dll,
- Melakukan percobaan / eksperimen data dan analisa,
- Uji coba hasil eksperimen, dan
- Kesimpulan.
Perkembangan manusia mulai dari lahir hingga mati menyangkut fisik, jasmani, intelektual dan rohani bisa dianalisa melalui fisis, matematis, biologis dan kimia berdasarkan methodologi ilmiah seperti di atas. Tetapi, keterbatasan kalkulasi angka-angka, variabel, koefisien dan konstanta beserta keterbatasan pengamatan indera manusia, kesimpulan ilmiahnya masih belum memuaskan dan masih sebagian besar ghoib.
Tetapi secara naluriah, Tuhan memberi kesempatan kepada manusia untuk menuju kepada-Nya melalui ciptaan-Nya yang menurut penilaian manusia terkategori ilmiah. Tuhan bersedia menyingkap Tabir-Nya sesuai “kesepakatan” antara manusia dengan-Nya. Atau dengan kata lain, jika manusia mau dan mampu menyibak Tabir-Nya, dan dengan seijin-Nya. Melalui simbol, perlambang dan perumpamaan yang konon ghoib, perlahan tetapi pasti (slowly but surely), one-by-one akan bisa disibaknya kecuali Dzat-Nya Sendiri yang Mahaghoib.
Tuhan menampakkan keghoiban pada rasul yang diridhoi-Nya. Arti rasul di sini adalah para manusia suci, yang terpilih sebagai utusan Tuhan pada zaman dulu yang diakhiri dengan Rasulullah Muhammad. Tetapi secara umum, rasul juga berarti utusan yang diemban oleh semua manusia yang telah mencapai pencerahan dan berfungsi sebagai utusan Tuhan secara yang terus-menerus, konsisten dan konsekuen menyampaikan risalah kebenaran melalui kelebihan ilmu masing-masing.
Pada QS. 72. Jinn 28, Tuhan mengingatkan Kebesaran-Nya bahwa Ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka dan Dia pasti menghitung detail segala sesuatunya satu-persatu tanpa sekecil apapun terlewatkan. Ini membuktikan Ilmu Matematika Tuhan sangat kompleks dibandingkan perhitungan matematika dan fisika modern mana pun.
Fungsi persamaan Ilmu Matematika Tuhan melebihi fungsi pangkat tiga alias tiga dimensi (x, y, z), karena Dimensi Tuhan adalah Dimensi Illahiyah atau Dimensi Tak Hingga. Contoh sederhana Matematika Tuhan misalnya; bahwa Dzat Tuhan Esa atau Satu tetapi mempunyai Nama dan Sifat Formal al-Asmaaul Husna berjumlah 99. Jika diperinci, kenyataannya berjumlah Tak Hingga (~). Misalnya lagi, fungsi limitasi jika x mendekati suatu angka maka y akan menjadi tidak terhingga (infinite), tetapi jika didekati secara diferensial-integral maka angka yang tadinya tidak terhingga bisa menjadi definitif (finite). Misalnya lagi, Keadilan Ilmu Matematika Tuhan bagaikan persamaan regresi dengan variabel yang tidak terhingga yang adil bagi semua titik-titik variabel.
Penciptaan 7 lapis langit dan bumi sebagai salah satu elemen ultra kecil pada langit lapis pertama, mempunyai ilmu-ilmu pada setiap lapisannya. Dalam istilah agama, masing-masing langit mempunyai hukum alam atau aturan sendiri. Jika manusia meneliti langit secara astronomi dengan segala hitungan matematis dan angka spektakuler, pasti tidak akan pernah selesai. Akan lebih bijaksana mendefinisikan “langit” dari sisi Ilmu-Nya.
Pembagian 7 lapis “langit ilmu” pada masing-masing lapisan terdapat sub-sub ilmu yang tidak terbatas dan tidak terselesaikan oleh pengetahuan sampai kapan pun. Seorang filosof klasik Auguste Comte (1798-1857), penganut positivisme, berpendapat bahwa segalanya berdasar fakta atau kenyataan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi enam (6) tingkat, yaitu:
- Ilmu Pasti atau Matematika,
- Astronomi,
- Fisika,
- Kimia,
- Biologi, dan
- Sosiologi.
- Astronomi,
- Matematika,
- Fisika,
- Biologi,
- Kimia,
- Sosiologi, dan
- Fisafat atau Agama.
Penjelasan masing-masing cabang ilmu pengetahuan bisa dilihat pada Kajian 27: Keseimbangan Langit Sedangkan bagan dari ketujuh cabang ilmu pengetahuan seperti gambar di bawah.
(pendekatan makna ‘tujuh langit” secara ‘ilmiah’ religius)
32.2. Ilmu dan Pengetahuan
Salah persepsi masyarakat terhadap ilmu dengan pengetahuan hingga mengakibatkan persenyawaan ilmu pengetahuan hendaknya diluruskan agar mampu membedakan kebenarannya. Tampaknya sepele, tetapi jika dbiarkan akan terakumulasi menjadi masalah besar.
Tabel 9. Perbedaan Ilmu (Science) dan Pengetahuan (Knowledge)
Ayat-ayat Tuhan yang tersirat di alam semesta, lauh mahfuzh dan pada diri manusia adalah ilmu yang menunjukkan pada eksistensi Sang Pencipta. Kebenaran ilmu ayat-ayat Tuhan yang terpampang gamblang sifatnya haq. Untuk memahami, apalagi menghayati, perlu proses panjang, seumur hidup, bahkan itu pun belum selesai!
Jika manusia sebagai basyariyah mulai berilmu, ia akan naik kualitas nilainya sebagai insaniyah, rahmatan lil 'alamiin. Ketika ayat demi ayat, ilmu demi ilmu telah menghantarkan manusia pada eksistensi Tuhan, maka ia pun telah menemukan inti-inti kebijaksanaan.
Sementara itu, sejauh ilmu yang mampu dicerna logika dan teknologi ciptaan manusia, itulah yang disebut pengetahuan manusia. Selebihnya yang belum terkuak masih misteri dan menjadi hak milik Tuhan sebagai Ilmu Tuhan yang haq. Sejarah penemuan teori dan teknologi tersebut merupakan kebetulan demi kebetulan. Untuk mafhum memerlukan pengajaran yang membutuhkan guru, literatur, laboratorium dan eksperimen.
Hasil akhir tidak menunjukkan konvergensi ilmu dan pengetahuan. Sedikit sekali orang yang mampu memadukan “ilmu pengetahuan”, karena secara teoritis esensi keduanya memang berlawanan. Kecenderungan ilmu adalah apa adanya sebagai ayat Tuhan, dan akan mengarahkan manusia pada sifat jujur, sederhana dan mengabdi pada kebenaran ilmu itu sendiri, baik pada Tuhan, manusia maupun alam. Sedangkan pengetahuan yang diperoleh secara kuantitatif, berorientasi konsumtif, acap kali secara sadar maupun tidak sadar menjual gelar kesarjanaannya untuk memperoleh status sosial yang biasa ditandai dengan kekayaan dan kekuasaan sesaat.
32.3. Nilai Kebenaran
Nilai kebetulan yang dimiliki pengetahuan adalah bagian sangat kecil, bahkan mungkin bisa tidak termasuk dari kebenaran yang dimiliki ilmu. Tidak semuanya pengetahuan memiliki bagian dari ilmu secara benar. Sejauh ini memang masih berhak menyandang “kebenaran sesaat”. Tetapi jika di masa depan ada teknologi canggih membuktikan kebenaran baru, maka kebenaran sesaat itu gugur bahkan bisa menjadi “kebenaran sesat”. Kebetulan demi kebetulan adalah tahapan demi tahapan yang dilalui oleh peradaban manusia.
Pengalaman manusia dari kecil hingga dewasa pasti mengalami hal-hal yang ia rasakan benar. Benarnya waktu ia kecil berdasarkan dogma dari orang tua atau guru. Benarnya akan berubah ketika ia beranjak dewasa dan menemukan bukti ilmiah yang menggugurkan kebenaran dogmatis sewaktu masih kecil. Sejalan tumbuh-kembang dirinya secara intelektual, emosional, spiritual; ia akan memahami tingkatan kebenaran:
- Kebenaran Dogmatik,
- Kebenaran Empirik,
- Kebenaran Ilmiah,
- Kebenaran Filsafat dan
- Kebenaran Haq dari Tuhan.
Kebenaran dogmatik sifatnya sangat dangkal, hanya percaya tanpa dicek kebenarannya melalui mata kepala, bukti dan berbagai upaya untuk meneguhkan kebenaran berita yang diterimanya.
Kebenaran empirik diterima indera yang masih nisbi kebenarannya. Misalnya teori yang mengatakan matahari mengelilingi bumi (geosentris) yang faktual bisa dipandang mata, kemudian digugurkan Copernicus dan Keppler yang membuktikan bahwa bumi mengitari matahari (heliosentris)..
Kebenaran ilmiah membuktikan kebenaran faktual dilandasi eksperimen dan bukti kongkrit hasil dari eksperimen tersebut. Tetapi kebenaran ini sulit berlaku bagi teori sosial, psikologi, politik dan lain-lain karena variabelnya tidak tetap dan banyak berupa ide-ide yang sifatnya masih abstrak
Kebenaran filsafat berupaya mengatasi segala kebenaran yang diperoleh manusia di sepanjang peradabannya. Tetapi ilmu ini pun kandas ketika sudah memasuki bahasan asal manusia dan akhir dari kehidupan ini. Banyak teori yang menjelaskannya mulai dari positivisme, atheisme, politheisme hingga monotheisme tauhid.
Kebenaran agama jika dipahami utuh bisa menjawab segala persoalan. Jadi, tidak ada dikotomi ilmu agama hanya untuk urusan akhirat, soal ghoib, dosa-pahala atau neraka-surga. Ilmu agama pun termasuk di dalamnya ilmu manajemen, teori sosial dan lain-lain, bertingkat mulai dari fiqih (syari’at) hingga ushuluddin (tasawuf).
Manusia yang telah mengoptimalkan potensi IQ, EQ, SQ akan mampu melakukan seni pemikiran kritis-dialektis-integralistik; yaitu pemikiran yang tajam terfokus pada satu obyek, mampu melintasi hambatan-kendala secara dialektis menuju satu sasaran. Contoh faktual model pemikiran itu adalah Nabi Ibrahim tatkala “mencari” Tuhan (QS. 6:74-81) atau ketika menghancurkan patung berhala (QS. 21:52-70).
32.4. Konsekuensi Berilmu
“…niscaya Allah akan tinggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dari antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 58:11)
Dengan berilmu, konsekuensinya manusia akan mengetahui. Jika ia sudah mengetahui esensi yang mendasar, maka ia pun akan mengerti, memahami dan menghayati akan ilmu. Bahkan ia pun berfungsi sebagai ilmu yang tunduk dan patuh pada Perintah dan Hukum Tuhan.
Beberapa ayat penunjang di antaranya:
“Dan jangan kau campur-adukkan yang hak dengan bathil dan jangan kau sembunyikan yang hak sedang kamu mengetahui. 42) Dan dirikan shalat, tunaikan zakat dan ruku'lah bersama orang-orang ruku'. 43) Mengapa kamu menyuruh kebaikan, sedang kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat), maka tidakkah kamu berpikir? 44)” (QS. 2:42-44)
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Tuhan yaitu al-Kitab dan menjual dengan harga sedikit, mereka sebenarnya tidak makan ke dalam perutnya selain api dan Tuhan takkan bicara pada mereka di Hari Kiamat, dan tidak mensucikan mereka dan bagi mereka siksa amat pedih. 174) Mereka membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Alangkah berani mereka menentang neraka! 175) Yang demikian karena Tuhan telah menurunkan al-Kitab dengan membawa kebenaran dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih tentang al-Kitab benar-benar dalam penyimpangan yang jauh. 176)” (QS. 2:174-176)
Konsekuensi orang yang berilmu adalah mengetahui, mengerti, memahami serta menghayati ayat-ayat Tuhan, sehingga:
- Tidak munafik mencampur-adukkan benar-salah, mengharamkan yang halal dan sebaliknya,
- Tidak pula menyembunyikan nilai kebenaran yang sudah pasti diketahuinya, harus disampaikan kepada umat yang belum mengetahuinya,
- Tidak “menjual” ayat Tuhan dengan murah, artinya harus disampaikannya tanpa minta upah sedikit pun dari umat – apalagi dijadikannya sebagai profesi, dan harus dengan hati ikhlas.
Selain menjadi karunia besar, orang berilmu dituntut mempertanggung-jawaban ilmu yang dimilikinya. Karena inti kajian ini ada pada penggalan Surat QS. 72:28, “Supaya Dia mengetahui, sesungguhnya rasul-rasul itu telah sampaikan risalah Tuhannya, sedang ilmu-Nya meliputi yang ada pada mereka dan Dia hitung segala suatu satu-persatu.”
Hukum sebab-akibat selalu berlaku. Sebab orang berilmu, akibatnya harus mempertanggung-jawabkan ilmunya. Di sini Ilmu Tuhan meliputi segala ilmu dan Dia menghitung segala sesuatu itu satu persatu. Sedemikian detail Tuhan memperhitungkan segala sesuatu, karena Dia yang Mahaadil dan Mahahalus. Sekecil apapun perbuatan manusia dan bisikan hatinya selalu ada pembalasan secara adil.
Hakikat ilmu bisa disebut pula sebagai “cahaya” yang menerangi jalan peradaban manusia untuk membangun dunianya. Sebagai cahaya, ilmu pun bertingkat dan berlapis. Keseluruhan ilmu meliputi yang ada pada manusia. Segala yang meliputi itu tidak semua orang mengetahuinya, itulah yang disebut ilmu ghoib. Pengertian ghoib tak hanya tertuju pada mahluk halus, klenik, magic, sihir dan ilmu yang menyesatkan lainnya. Segala sesuatu yang tidak diketahui manusia sifatnya ghoib. Begitu terkuak rahasianya, maka sifat ghoib sudah tidak melekat lagi padanya.
32.5. Melihat Orang Berilmu Harus dengan Ilmu
Banyak orang yang menilai orang secara inderawi dan berhenti di sana. Memang panca indera memberikan stimuli apa adanya sesuai kemampuan indera menerimanya. Tetapi di balik semua itu harus dinilai inti semua permasalahan yakni niat (verb) yang bersumber dari hati (noun).
Orang awam pasti menilai seseorang cantik-tampan dari wajahnya, pandai dari gelar titelnya, atletis dari tubuhnya, kaya dari hartanya, terhormat dari jabatannya. Tetapi tidak mudah menilai “karakter dalam”, inner power atau inner beauty seseorang. Jika kriteria cantik-tampan, pandai, atletis, kaya dan terhormat menurut penilaian inderawi ternyata tidak dimanfaatkan untuk kemaslahatan, maka semua itu akan sia-sia. Sehingga dengan demikian, inner-power seseorang itu tidak selalu sesuai dengan penilaian inderawi.
Cantik-tampan hanya kulit pembungkus tengkorak yang semua orang sama saja tengkoraknya. Cara menilai kepandaian seseorang harus oleh orang yang pandai. Orang bodoh memuji orang pandai bukanlah pemujian, tetapi hakikatnya penghinaan. Menilai kelebihan seorang harus dengan ilmu, tidak semudah dengan melihat lulusan dari mana, indeks prestasi berapa, anak siapa dan lain-lain penilaian inderawi seperti itu.
Contoh historis menilai seorang berilmu harus dengan ilmu adalah kisah Nabi Musa yang tidak bisa memahami Nabi Khidir ketika keduanya dipertemukan Tuhan. Pada setiap kasus yang dihadapi, Nabi Musa selalu tidak sabar mengomentari dan memberi kesimpulan perbuatan Nabi Khidir; kemudian Nabi Khidir menjelaskannya. (QS.18:70-82)
Seperti telah dijelaskan bahwa kebenaran (ilmu) agama merupakan kebenaran hakiki. Maka seseorang yang memahami kebenaran (ilmu) agama, setidaknya telah melalui proses dialektika ketika ia berusaha memahami kebenaran demi kebenaran.
Selayaknya jiwa muthma’inah memimpin jiwa ammarah-lawwamah,
bukan sebaliknya.
bukan sebaliknya.
Menguasai (ilmu) agama bukan berarti harus menyandang semua status profesi apalagi bergelar sarjana agama. Ilmu praktis yang ditekuninya tidak membutuhkan sertifikat buatan manusia. Ia telah mempunyai modal dan kunci penyelesaian setiap masalah, yaitu manajemen ilmu dan qolbu.
Ilmu agama bukan ilmu klasik kitab samawi, atau turunannya berupa kitab-kitab kuning karya ulama-ulama besar pasca Nabi Muhammad, yang dijauhkan dari tempat ekslusif. Seorang manajer, direktur hingga pucuk pimpinan organisasi dan negara sekalipun jika mereka mengerti, memahami dan menghayati ajaran ilmu agamanya secara benar, maka jiwanya akan kuat dan mantap memimpin bawahan, umat dan rakyatnya menuju kemaslahatan.
Ketika seseorang telah menemukan jati dirinya yang spesifik misalnya sebagai seniman, budayawan, profesional, agamawan atau aparat-pejabat, penguasa, pedagang, petani, nelayan dan lain-lain; sedangkan ia telah pula menemukan inti-inti kebijakan di medan kebenaran hakiki, maka ia telah menguasai segalanya. Ia mampu mengatasi segala problema hidup, tiada terlanda sedih, kuatir, stress dan lain-lain. Selayaknya jiwa muthma’inah memimpin jiwa yang masih ammarah-lawwamah, bukan sebaliknya. Karena jiwa kuat pasti tidak mau dipimpin jiwa-jiwa yang lemah.
Dengan menguasai (ilmu) agama, ia menguasai segalanya. Karena ia telah menyatu dengan alam yang tunduk patuh pada Perintah Hukum Tuhan. Ia benar-benar menyatu dengan alam sebagai manusia rahmatan lil 'alamiin, hidup dan bekerja untuk ibadah dan menjadi insan kamil… ***
Puisi 21.
Maafkan Aku
Tuhanku,...
Lelah kakiku aku ke sana ke sini mencari-Mu,
Capek mataku aku memandangi bumi-Mu dan semesta-Mu,
Pegal tanganku menuliskan ayat-ayat-Mu,
Tak Selesai kata-kataku mendefinisikan menjelaskan Kebesaran-Mu,
Akhirnya, aku duduk, rebah lalu kurenungi diriku sendiri.
Tuhanku,..
Angka-angkaku tak mampu mengukur dimensi-Mu,
Teknologi ilmuku tak mampu menemukan-Mu,
Pengetahuanku tak mampu menguak Ilmu-Mu,
Otakku tak mampu memahami Lauh Mahfuzh-Mu,
Akhirnya, Kau Sendiri hadir menegur aku di dalam hatiku.
Temanku,..
Maafkan aku,..
Aku tak mampu berbagi rasa denganmu,
Soal siapa, apa, bagaimana, mengapa, di mana, ke mana, dari mana,… Dia,
Melalui angka, kata dan bahasa, ternyata kita tak mampu menghampiri-Nya,
Apalagi mencapai dan menyapa-Nya.
Jakarta, 07/10/2001 – 00:23 WIB
“…Sesungguhnya yang takut pada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
(QS. 35:28)
========================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar