NEGERI ini yang sebenarnya diberkahi Tuhan dengan kekayaan alam dan sifat azali manusia yang toleran, cerdas kultural-spiritual, mendadak sontak di era modern terlalu banyak konflik terjadi.
Dulu, zaman para pujangga hingga para wali, memang ada riak-riak konflik horizontal mulai dari era Ken Arok, hingga pemberontakan Nambi atau Ronggolawe. Betapa pun ada riak, namun masih banyak para penengah dan karya nyata dari para pujangga mulai dari nama Mpu Tantular, Mpu Sedah dan Panulu hingga Jayabaya dan Ronggowarsito. Dari kalangan para wali pun tidak kalah waskita karyanya seperti Sunan Bonang hingga Sunan Kalijogo.
Akhir-akhir ini pun, 'geliat' tokoh-tokoh lintas agama (konon) menyuarakan suara umat menanggapi kebohongan publik yang sering dikemukakan oleh Pemerintah - terutama angka-angka statistik yang menggambarkan peningkatan pertumbuhan ekonomi, nilai eksport hingga pemerataan kesejahteraan masyarakat. Dinilainya semua itu pidato klise, normatif sementara kesengsaraan kaum marginal masih banyak berserakan 'terlindas' laju pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Di kalangan elite pun konflik terjadi secara horizontal pada tataran yang lebih tinggi; mulai dari isu keterlibatan pejabat negara/partai pada kasus-kasus korupsi, hiruk-pikuk sekber partai koalisi hingga isu miring soal anggaran 'siluman' di DPR, Istana dan gaya hidup para pejabat yang hedonis-materialistis (sebenarnya dari sisi tasawuf, hanya kasihan yang terbersit dari hati ini karena mereka diperbudak oleh hawa nafsu yang tidak diridhoi Tuhan; tidak bisa meraih dan merasakan kebahagiaan hakiki). Pesan moral yang disampaikan oleh para tokoh lintas agama pun masih berkesan normatif keagamaan.
Mungkin juga pesan moral/akhlaq yang disampaikan oleh tokoh-tokoh lintas agama terkesan sedikit banyak bernuansa politis. Idealnya mereka secara intens membangun umat secara internal-kultural, menjalin keharmonisan antar-umat serta merintis ketahanan pangan ekonomi-sosial umat - terutama masyarakat miskin. Dengan mampu mewujudkan kekokohan internal umat, membangun toleransi positif antar umat serta merta mendewasakan umat dari semua sisi kehidupan, maka secara perlahan namun pasti, para tokoh-tokoh lintas agama tersebut tidak perlu mendeklarasikan sesuatu yang membawa nama umat; karena umat sendiri sudah cerdas dan dewasa menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Membangun "sistem sosio-religi" masyarakat atau umat yang berbasiskan masjid (dan tempat ibadah lain sesuai agama umat lain), akan mengukuhkan NKRI secara sosio-religis melalui kesadaran umat dari bawah (grass root).
Dengan menerapkan program Seribu Masjid Satu Jumlahnya, ditindak-lanjuti sistem yang telah terpola atau terancang secara taktis strategis - misalnya melalui sistem clustering masjid (dan tempat ibadah lain sesuai agama umat lain), maka peranan rumah ibadah dan tokoh-tokoh agama akan mampu mengantisipasi konflik horizontal sedini mungkin.
Clustering Masjid dan Fungsi Sosial Masjid Mengantisipasi Konflik Sosial |
Misalnya di kalangan umat Islam. Idealnya setiap masjid dengan ta'mir dan tokoh agamanya - dalam mengemban fungsi sosial masjid - harus berani melepas ego sektariannya. Memang sangat halus sifatnya merasakan keyakinan tauhid sehingga mungkin sulit meleburkannya. Namun jika telah mencapai kesadaran tertinggi, di mana tiada lagi ego - sebagaimana Tuhan memberlakukan sifat Rahmaan-Nya kepada seluruh mahluk.
Dengan memanfaatkan pemetaan dan clustering masjid seperti gambar di atas, akan dengan mudah mengetahui kondisi masing-masing wilayah cluster masjid. Jika masjid bersama ta'mir, jamaah dan umat secara umum di sekitar masjid secara intens melaksanakan kegiatan yang positif-konstruktif di segala bidang, maka keharmonisan itu pun secara alami akan tumbuh dan berkembang dengan natural...
Inilah peran masjid dan Antisipasi Konflik Horizontal.
=======================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar