TAHUN 2002-2005 ternyata ada tugas belajar (beasiswa) menempuh pendidikan magister (S2) dari kantor ke satu perguruan tinggi favorit di Bandung. Ada sedikit kisah menarik menyangkut tugas belajar magister ini;
Kuliah di Bandung 2002-2003
Pengalaman menjadi sarjana dan menyimak perjalanan sistem pendidikan nasional, saya menjadi apatis untuk melanjutkan sekolah magister. Saya berpendapat tingkat intelektualitas seseorang tidak sekedar diukur dari gelar kesarjanaan yang berderet di depan-belakang namanya. Tetapi bagaimana pun orang tua sangat menginginkan anaknya bisa menjadi magister. Pada awalnya saya masih tidak berniat sekolah magister.
Pada suatu ketika ada pekerjaan survey Jakarta-Bandung bersama seorang konsultan perempuan. Sesampai di Bandung, kami menurunkan konsultan kami untuk menjemput suaminya yang sedang tugas belajar, di sebuah bangunan laboratorium di perguruan tinggi favorit di Bandung. Ketika menjejakkan kaki di lingkungan perguruan tinggi tersebut, ada bisikan perasaan sangat halus yang membisikkan di relung nurani ini bahwa saya akan kembali ke sini. Sejenak kemudian saya tidak memperhatikannya lagi.
Beberapa bulan ke depan, ketika saya sedang mengerjakan tugas-tugas rutin di kantor Pusat Kajian Sosial, Budaya dan Ekonomi Wilayah (status diperbantukan) di Pasar Jum'at, seorang rekan dari kantor pusat di Jln. Pattimura menelpon menawarkan beasiswa magister. Saya menjawab bisa sekedarnya "ya-ya" begitu saja, lalu teman saya mendaftarkan saya.
Singkat cerita, proses pendaftaran dan ujian magister tersebut selesai. Ketika saya tahu akan belajar di mana - serta merta ketika saya sudah menjalani tugas belajar tersebut - ternyata saya belajar magister tepat di tempat suami konsultan kami yang dulu menjemput suaminya di Bandung! Dejavu?
Pengalaman yang mungkin berada di bawah sadar ini bisa dialami oleh orang lain, karena masih bersifat alamiah. Pada masa lalu pun saya pernah mengalami. Sekali waktu ketika masih SMP/SMA di Surabaya, saya pun pernah berucap kepada teman SD saya ketika kami main-main di sekitar wilayah ITS Sukolilo, Surabaya. Kepada teman saya, sambil menunjuk ke Kampus ITS, saya mengatakan, "Itu nanti kampusku". Beberapa tahun kemudian, ucapan itu terjadi, saya kuliah di Teknik Sipil ITS Surabaya.
Kembali pada masa tugas belajar magister di Bandung, pada awalnya semangat. Apalagi kuliah lapangan di Bandara Juanda pada saat perluasan dan meninjau salah satu pembangunan jembatan di Bali. Tetapi tidak lama kemudian - setelah mengikuti rutinitas kuliah dan tugas-tugas lainnya, semangat itu melemah dan menjadi "malas" hingga menjelang tesis.
Dengan rasa apatisme sistem pendidikan yang saya rasakan hingga saat itu, saya sempat menulis di Harian Pikiran Rakyat. Sebetulnya ada dua artikel, berjudul "Sistem Drainase di Kota Bandung" dan satunya yang saya postingkan berikut di bawah:
Idealisme dan kebisaan menulis saya di Harian Pikiran Rakyat serta selama kuliah di Bandung, mengingatkan saya pada pemuda Soekarno - ketika kuliah di Bandung - yang sarat idealisme dan nasionalisme yang tertuang melalui tulisan-tulisannya di Harian Pikiran Rakjat.
Saya masih bertahan menuntaskan kewajiban tugas belajar di Bandung, untuk membuktikan kemampuan intelektualitas saya menyelesaikan strata dua tersebut. Betapa pun saya masih bisa menikmati suasana Kota Bandung yang sangat indah dan mengesankan, baik alam, sosial, budaya, kuliner dan semuanya. Sangat mengesankan. Di sisi lain, saya masih tetap aktif menulis rangkaian kajian keagamaan yang sudah saya mulai sejak tahun 2000-2001 di Jakarta.
Keinginan baik menyelesaikan tugas belajar ternyata berbenturan dengan keadaan/kenyataan yang harus saya hadapi. Berbagai masalah muncul menjelang tesis. Salah satu di antaranya adalah masalah keluarga di Surabaya, di mana istri mengandung anak kedua (kandungannya lemah) dan mulai sakit-sakitan karena akan melahirkan. Konsentrasi belajar saya terganggu, akhirnya saya memilih mengundurkan diri dari Bandung untuk melanjutkan tugas belajar di Surabaya secara mandiri (lepas dari beasiswa dinas).
Tesis di Surabaya 2003-2005
Secara kedinasan, kepindahan saya dari Jakarta ke Surabaya tidak ada masalah. Untuk sementara, status kepegawaian saya 'menempel' di kantor Perencanaan dan Pengawasan Teknik Jalan dan Jembatan Provinsi Jawa Timur. Namun secara akademis, ternyata tidak mudah untuk transfer tugas belajar dari Bandung ke Surabaya, meskipun hanya tinggal mengerjakan tesis. Bahkan sampai ke perguruan tinggi swasta pun saya coba mendaftar, tetapi ia tidak menerima mahasiswa pindahan. "Matilah saya..."
Dengan rasa pesimis saya mencoba melanjutkan mendaftar ke ITS. Saya pesimis karena yang swasta tidak menerima mahasiswa pindahan, apalagi negeri seperti ITS. Ternyata prasangka saya langsung dimentahkan ketika saya menemui Pembantu Rektor I ITS, Prof. Ir. Noor Endah, M.Sc. Ph.D. Di ruang kerja beliau di kantor pusat ITS, mantan dosen saya ketika kuliah sarjana itu menjelaskan bahwa ITS baru selesai memiliki peraturan yang intinya bisa menerima mahasiswa transfer. Alhamdulillah, kembali Tangan Tuhan ikut campur membantu masalah yang saya hadapi.
Satu masalah selesai, tetapi masalah lain timbul. Ketika beasiswa dicabut, maka konsekuensi biaya lanjutan kuliah magister di ITS adalah biaya sendiri. Tabungan masih ada walaupun sekedar untuk satu semester saja!
Proses pendaftaran dan administrasi lainnya saya lakukan sesuai prosedur. Ada beberapa mata kuliah yang harus disesuaikan dengan mengikuti kuliah lagi. Untuk tesis, penentuan dosen konsultasi saya memilih Prof. Indrasurya B. Mochtar, M.Sc. Ph.D. yang kebetulan sedang melakukan penelitian bersama Dinas Bina Marga, Pemerintah Kota Surabaya.
Tangan Tuhan kembali menjamah hamba-Nya yang fakir ini. Tesis yang saya kerjakan bersama bimbingan Pak Indra merupakan salah satu penelitiannya yang dibiayai oleh Pemkot Surabaya. Sehingga saya yang membantu Pak Indra statusnya 'dipekerjakan' di dalam penelitian tersebut, otomatis ya dibayar. Saya rancang kegiatan survey dan rekapitulasi biayanya. Tugas belajar lancar, tesis lancar, biaya...lancar jaya!
Kegiatan tesis saya pada intinya penelitian menghitung kerusakan jalan secara visual serta menentukan tingkat kerusakan dan prioritas penanganan. Sebagai penulis (dan sedikit pemikir), insting saya langsung menyambungkan ke sistem jaringan jalan serta pemetaannya secara computerize. Untuk bahasa program mapping dan mapbasic, saya minta bantuan teman Jakarta yang lama kumpul di Bipran, yaitu Yudi Riadi. Teman saya ini cukup pakar di bidang komputer walaupun tidak sarjana.
Setelah melalui perjalanan yang cukup melelahkan sepanjang tahun 2002-2005, namun banyak hikmah di dalamnya, saya pun berhasil menyelesaikan tugas belajar di ITS dengan tesis yang justru sangat menunjang karya tulis saya sebelumnya. Substansi tesis ini justru sangat mendasari pemikiran konsep profesional yang kelak saya beri judul "Pembangunan Infrastruktur berbasis Data, Peta GPS/GIS/IT dan Prioritas Penanganan".
Selesai sudah tugas belajar dengan segala suka-duka yang menjadi satu realita yang harus kita jalani secara istiqomah. Keinginan orang tua agar anaknya bisa sampai S2, alhamdulillah, sudah dikabulkan. Demikian pula substansi ilmu magister sudah saya peroleh ketika saya tesis di ITS Surabaya, tinggal menyempurnakan, mengembangkan dan menerapkan di instansi tempat saya bekerja. Semudah itukah?
Ikut Seleksi Komisioner KKR 2005
Di pertengahan tahun 2005, ketika membaca surat kabar, ada pengumuman pendaftaran anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dari Pemerintah. Pembentukan ini menyikapi berbagai kerusuhan yang bermotif SARA yang sering merebak di daerah-daerah. Masyarakat semakin sensitif, sedikit tersinggung masalah SARA, konflik horizontal pun terjadi. Mengenaskan, melihat masyarakat yang kurang terayomi oleh pemerintahnya sendiri...
Mencoba-coba ikut mendaftar dengan melengkapi syarat administrasi mulai dari surat keterangan sehat dari puskesmas hingga keterangan kelakuan baik dari polsek setempat. Berkas pendaftaran dikirimkan ke panitia seleksi. Tidak lama kemudian pendaftar diumumkan di surat kabar yang sama, ternyata berjumlah hampir 2.000an pendaftar dari berbagai kalangan! Pada tahap kedua diminta menulis makalah, alhamdulillah lulus. Makalah saya waktu itu berjudul, "Hakikat Kebenaran dan Hak Azasi Manusia". Pada tahap ketiga diminta hadir untuk mengikuti psikotes di Jakarta, alhamdulillah lulus juga. Jumlah peserta yang lulus pada tahap ketiga ini sudah tersaring menjadi 61 orang dari 2.000an pendaftar pada tahap awalnya.
Ketika mengikuti tes wawancara di Gedung Kementerian Hukum dan HAM, sudah berkumpul para pakar di bidang hukum, sejarah (Anhar Gonggong) dan lain-lain terutama bidang sosiologi. Peserta yang berstatus insinyur teknik mungkin saya sendiri.
Saya ingat ketika wawancara dilakukan, pastilah saya yang fakir ini sempat tidak percaya diri dan menjawab "kurang mantap". Tak apalah, terus jalani... Salah seorang pewawancara adalah Bambang Widjoyanto, yang lain dari kalangan pakar terkait serta pejabat Departemen Hukum dan HAM.
Setelah mengikuti tes wawancara, selesailah sudah pada tahap itu. Namun, entah mengapa tiba-tiba proses rekruitmen komisioner KKR itu dihentikan. Kelihatannya masalah politis atau apa, saya kurang paham, dan kemudian saya membiarkannya saja bagai angin lalu. Betapa kebijakan yang sudah memakan banyak biaya, waktu dan tenaga semua pihak (khususnya peserta), tiba-tiba dihentikan begitu saja. Saya mencoba bijak dengan mengaitkannya hikmah kematian yang datang begitu saja, mendadak tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Selama mengikuti proses rekruitmen komisioner KKR, meskipun 'tidak berhasil', ada hikmah lagi yang bisa saya renungkan; betapa sulit mengemukakan kebenaran dan rekonsiliasi. Apakah kebenaran ini hanya milik pribadi dan dirasakan secara pribadi pula oleh para salik yang menekuni ilmu hikmah untuk merasakan bahwa kebenaran itu betapa bahagianya???
========================================================================
kendaraan ini ada dapurya
BalasHapussewa bus di surabaya
sewa alphard di surabaya
sewa hiace di surabaya