Kamis, 05 Januari 2012

Makalah KKR 2005: Hakikat Kebenaran dan HAM

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Hakikat Kebenaran dan Hak Asasi Manusia
Oleh: Didik Hardiono, ST


Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah niat baik Pemerintah yang mengajukan UU tersebut dan telah disetujui DPR. Proses penyaringan calon anggota secara terbuka melalui media massa dan fit and proper test melalui makalah, presentasi dan wawancara sebagai upaya menggali kredibilitas dan moralitas calon anggota – sebagai realisasi dari transparansi dan akuntabilitas – patut disambut positif oleh setiap warga bangsa yang peduli terhadap masa depan bangsanya yang lebih baik.

Kiranya rasionalitas intelektual telah mengalami kejenuhan melihat berbagai kejadian anarkhisme dan vandalisme yang melanda negeri ini. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi kurang efektif dengan berbagai konflik horisontal maupun vertikal. Social cost yang harus dibayar terlalu besar mengingat budaya negeri yang santun, tepa slira, gotong-royong dan menjunjung tinggi martabat manusia. Pastilah ada faktor lain dari “luar” yang menyulut bangsa ini menjadi “liar”.

Untuk mengembalikan moral bangsa yang berbudi luhur, maka diperlukan panutan yang berbudi luhur, berkarakter, berkepribadian dan berakhlaq mulia, jujur dan sederhana, serta mempunyai kapabilitas keilmuan memadai sebagai prasyarat seorang intelektual. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono secara sistemik membangun clean governance untuk memulai babak baru membangun Bangsa Indonesia yang lebih bermartabat. Upaya yang menunjukkan keseriusannya akhir-akhir ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berusaha membongkar indikasi korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Kejaksaan Agung yang mengusut kredit macet di Bank Mandiri.

Setelah di birokrasi pemerintahan (diharapkan) bersih dari korupsi, kini dibentuk KKR untuk menyelesaikan konflik di antara masyarakat (horisontal) maupun antara masyarakat dengan aparat (vertikal). Jika korupsi telah mulai dieliminir oleh KPK, dinamika masyarakat mulai bisa diberdayakan dan diharmonisasi oleh KKR; maka diharapkan potensi besar yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia – Insya Allah – segera bisa bangkit dari keterpurukannya…

Jika para anggota KPK dijamin harus steril dari korupsi, jujur dan sederhana; maka demikian pula calon anggota KKR sebagai bagian dari penyelenggara pemerintahan yang harus menjadi panutan, berbudi luhur, berkarakter, berkepribadian dan berakhlaq mulia, jujur dan sederhana, serta mempunyai kapabilitas keilmuan sebagai prasyarat seorang intelektual.

Proses penilaian dan penyaringan calon anggota KKR harus berdasarkan keilmuan yang benar-benar obyektif. Di sini, kapasitas keilmuan Panitia Seleksi dihadapkan pada kemampuan keilmuan calon anggota KKR. Selain itu kemampuan nurani yang berakar pada azas spiritual juga diuji ketahanannya terhadap bisikan-bisikan kolusi dan nepotisme. (Ulasan menilai orang berilmu harus dengan ilmu, ada pada draft buku saya hlm 304).

Menilai kredibilitas seseorang hanya dari gelar akademik dan pengakuan sekunder dari orang-orang yang mengenalnya secara harfiah, akan berujung pada kegagalan sistemik yang merusak dari dalam. Kasus korupsi di KPU, Bank BNI, Bank Mandiri dan lain-lain adalah kejahatan yang dilakukan orang pintar dan kaya materi tetapi bodoh jiwanya dan miskin hati. (Ulasan potensi manusia, ada pada draft buku saya hlm 175 & 294).

Kesalahan demi kesalahan telah banyak dilakukan bangsa ini. Bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) dijadikan landasan dan alasan demi mempertahankan stabilitas nasional, seperti kasus G-30-S/PKI, Malari, Nipah, Marsinah, Udin, Talangsari, Tanjung Priok, Tempo hingga kasus Semanggi I-II. Sungguh ironi, tidak punya hati nurani, tidak manusiawi, menyesakkan nafas insani…

Pelanggaran HAM tidak saja bersifat phisicly menghadapkan dua kubu berlawanan dan salah satunya harus menjadi korban dan teraniaya. Pelanggaran hak asasi terhadap negara yang dilakukan oleh para koruptor, ilegal logging, money politics dan lain-lain sejenisnya – secara tidak langsung tapi lebih dasyat akibatnya bagi rakyat dan negara – bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM. Ini perlu dirumuskan dalam buku putih KKR.

Dengan segala pertimbangan tersebut di atas, hendaknya ide mulia pembentukan KKR, proses seleksi ketat hingga terpilihnya anggota KKR, harus benar-benar memperhitungkan kompetensi keilmuan dan hati nurani secara utuh. Harga diri, kewibawaan, keberanian, kecerdasan, kejujuran dan kesederhanaan… adalah kebanggaan menjadi anggota KKR.

Bagi calon anggota KKR yang lulus seleksi administrasi (pada tahap I), diwajibkan membuat makalah yang menguraikan visi dan misi dari calon tentang KKR, program kerja yang berkaitan dengan fungsi, tugas dan wewenang KKR, pengetahuan dan pemahaman tentang HAM, serta kepedulian tentang HAM baik lokal, nasional maupun internasional. Substansi makalah antar calon anggota bisa dipastikan terbagi menjadi dua macam kategori yakni yang bersifat teoritis-akademis dan praktis-filosofis. Kategori pertama kebanyakan biasanya banyak mengutip teori, buku atau dari pakar yang menjadi ciri khas para akademisi. Kategori kedua adalah mereka yang hampir tidak mengutip teori tetapi lebih mencurahkan pemikirannya sendiri. Kategori kedua biasanya lebih aplikatif dan efektif di dalam bekerja. (Ulasan detail ada pada artikel saya “Kemiskinan Filsafat dan Filsafat Kemiskinan”)

I. Visi KKR

Sebagai suatu organisasi baru yang membantu pemerintah di dalam mengungkap kebenaran dan upaya rekonsiliasi atas suatu konflik di antara warga masyarakat (horisontal) maupun antara masyarakat dengan aparat (vertikal); maka KKR harus mempunyai visi jelas dan meliputi segala persoalan masyarakat dan negara. Adapun visi KKR dapat dirumuskan sebagai berikut:
  • Terwujudnya masyarakat baru yang lebih kondusif, harmonis dan beradab di dalam tatanan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali (azas horisontal);
  • Terselenggaranya strata sosial masyarakat yang mengedepankan sifat jujur dan terbuka, menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (azas vertikal), 


II. Misi KKR


Tindak lanjut dari visi KKR adalah memformulasikannya ke dalam misi KKR sebagai upaya verbal untuk mencapai tujuan. Adapun misi KKR dapat dirumuskan sebagai berikut:
  • Mewujudkan upaya rekonsiliasi di antara elemen masyarakat yang bertikai, berselisih hingga konflik fisik yang menelan korban;
  • Mewujudkan upaya komunikasi intensif antara mayarakat pada umumnya untuk menyelesaikan dan/atau mencegah kemungkinan konflik yang akan timbul;
  • Menyelenggarakan aktifitas sosial dan memberdayakan potensi masyarakat yang positif, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan instansi pemerintah, swasta maupun lembaga swadaya masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat hingga tingkat kecamatan;


III. Program Kerja KKR

Untuk mewujudkan sistem kerja yang terukur, maka anggota KKR harus mempunyai time and jobs schedules beserta target penyelesaian secara kongkrit. Hasil yang dicapai, selain dilaporkan kepada Presiden sebagai atasan langsung, harus pula dilaporkan kepada masyarakat melalui media massa secara transparan.

Fungsi, tugas dan wewenang KKR sebenarnya sudah diatur di dalam Bab III pasal 5-7 UU No. 27/2004. Tapi untuk mengetahui kemampuan calon anggota KKR, tak ada salahnya merumuskan kembali fungsi, tugas dan wewenang KKR menurut calon anggota sehingga bisa menjadi pertimbangan penilaian bagi Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota KKR.

Pada tahun pertama, program kerja KKR masih terbatas pada perumusan Fungsi KKR, Tugas KKR dan Wewenang KKR. Tetapi jika di-break-down detail, program kerja KKR pada tahun pertama ternyata sudah cukup berat, seperti uraian berikut di bawah ini:

III.1. Fungsi KKR
Fungsi KKR adalah nilai manfaat dari lembaga independen KKR terkait dengan instansi di atasnya, dalam hal ini pemerintah. Adapun fungsi KKR adalah:
  • Membantu pemerintah di dalam mengungkap hal ikhwal terjadinya konflik dan kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap HAM;
  • Membantu pemerintah di dalam membangun rekonsiliasi di masyarakat, baik secara sosial-horisontal maupun struktural-vertikal.
III.2. Tugas KKR
Definisi tugas KKR adalah kegiatan admisnistrasi, fisik maupun pemikiran yang diaktualisasikan ke dalam pekerjaan kongkrit KKR untuk mengemban fungsi agar bisa mewujudkan tujuan KKR sebagaimana diamanatkan Bab II pasal 3 UU No. 27/2004. Adapun tugas KKR adalah:
  • Setelah ditetapkan Presiden atas persetujuan DPR, KKR membentuk KKR Propinsi;
  • 3 (tiga) bulan setelah disahkan organisasi dan susunan anggota, KKR menerbitkan buku putih berisi visi, misi dan program kerja serta segera menyosialisasikannya;
  • Menerima laporan dan melakukan inventarisasi semua kejadian yang terindikasi mengandung pelanggaran terhadap HAM sejak Proklamasi 1945 hingga sekarang;
  • Menyusun skala prioritas penanganan kasus-kasus yang terindikasi mengandung pelanggaran berat terhadap HAM;
  • Merumuskan kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban;
  • Merumuskan upaya rekonsiliasi yang kondusif dan berkesinambungan;
  • Melakukan prediksi ke depan akan kemungkinan terjadinya konflik di masyarakat yang mengarah pada pelanggaran terhadap HAM dan upaya-upaya pencegahannya.

III.3. Wewenang KKR


Definisi wewenang KKR adalah ‘kekuasaan profesi’ yang melekat pada KKR untuk memperlancar tugas-tugasnya. Adapun wewenang KKR adalah:
  • Melakukan inventarisasi data kejadian bersama instansi pemerintah terkait;
  • Melakukan penelusuran jejak kejadian bersama instansi pemerintah terkait dan tokoh-tokoh masyarakat untuk mengungkap fakta di lapangan;
  • Melakukan interogasi terhadap saksi yang terlibat langsung maupun tidak langsung;
  • Setelah cukup bukti, dan jika upaya rekonsiliasi dinilai gagal, KKR memberikan rekomendasi ke Komnas HAM untuk menindak-lanjuti ke proses pengadilan HAM.
Setelah menguraikan keberadaan KKR berikut fungsi, tugas dan wewenang KKR, maka berikut di bawah ini semacam flash-back untuk meninjau kembali kerangka filosofi pemahaman akan hakikat kebenaran dan hak asasi manusia. Pembahasan filosofi tersebut lebih banyak berdasarkan pada ajaran agama; karena asas pembentukan KKR yang tertuang pada Bab II pasal 2 UU No. 27/2004 – terutama keadilan dan kejujuran – lebih otentik jika mengacu pada ajaran agama. Demikian pula seleksi dan pemilihan anggota KKR juga harus didasarkan pada pertimbangan agama seperti Bab VII pasal 32 ayat 2c UU No. 27/2004.

IV. Hakikat Kebenaran

Agama bagi Bangsa Indonesia adalah sumber inspirasi yang takkan habis digali. Banyak pujangga, budayawan dan seniman yang melahirkan kitab filsafat dan karya seni-budaya adi-luhung, membuktikan bangsa ini pernah mencapai puncak peradaban. Keaneka-ragaman budaya dan kearifan lokal tidak menyurutkan nilai-nilai luhur agama yang mengajarkan hakikat kebenaran. Keberagaman agama pun tidak mempengaruhi semangat spiritual yang murni bersumber dari hati nurani.

Tetapi, ketika kapitalisme dan imperialisme – baik klasik maupun modern – mulai menjarah pola pikir bangsa ini, maka ukuran kemakmuran menjadi jauh bergeser pada ukuran materialistis. Kitab suci mulai digantikan buku ensiklopedi. Para ulama, pujangga, budayawan dan seniman digantikan para pengusaha mulai direksi, manajer hingga karyawan. Tempat ibadah, gedung seni-budaya, fasilitas sosial, pendidikan, olah raga dan pasar tradisional dirobohkan berganti fungsi menjadi mall, hypermarket, real-estate, hi-rise building hingga waralaba yang mewabah di kampung. Kidung dan tembang ujaran sesepuh berisi nasehat bagi kawula muda terjungkir oleh house music, pub dan diskotik. Pengajian malam hari digusur tayangan sinetron dan goyang dangdut di televisi. Ironinya, semuanya itu mengaku mengatas-namakan hak asasi manusia…

PBB, yang merumuskan hak asasi manusia dalam Declaration of Human Rights, pada kenyataannya tidak mampu membendung ambisi Amerika ketika menginjak dan memporak-porandakan hak asasi Bangsa Irak, Afganistan dan Palestina. Siapa atau apa yang harus menjadi pegangan bagi Bangsa Indonesia untuk menemu-kenali rumusan hakikat kebenaran dan hak asasi manusia sebenarnya?

Pendidikan sekuler dari barat ternyata semakin menambah jumlah orang bingung yang kehilangan jati dirinya. Jalan satu-satunya adalah kembali ke fitrah sebagai manusia yang dibekali akal oleh Tuhan. Membuka Kitab Suci adalah langkah awal membuktikan bahwa Tuhan sebagai Causa Prima sangat dekat (QS. 2:186, QS. 50:16).

Agama mengajarkan kebenaran dan hak asasi manusia secara lengkap. Logika dan nalar tidak pernah berhenti walaupun yang dipelajarinya ‘hanya’ satu Kitab Suci. Hakikat kebenaran pada tatanan universal intinya mempunyai 5 (lima) tingkatan, yaitu: (1) Dogmatis, (2) Inderawi; (3) Ilmiah; (4) Filosofis, dan (5) Agama. Di dalam bekerja, anggota KKR harus mendasarkan kinerjanya pada semua tingkatan kebenaran tersebut. Untuk membuktikan kebenaran suatu tesis, tidak cukup seperti menyusun puzzle dari laporan-laporan para saksi atau bukti-bukti sekunder (dogmatis). Anggota KKR harus membuktikannya secara empiris (inderawi) di lapangan, lalu menguji melalui tahapan metodologi keilmuan (ilmiah). Bila diperlukan, dilakukan pendekatan nalar (filosofis) hingga memperhatikan rasa keadilan masyarakat berdasarkan azas ketuhanan (agama). (Ulasan tingkatan kebenaran, ada pada draft buku saya hlm 22 & 302).

Menyandang nama “kebenaran” di dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, merupakan beban berat yang harus diemban anggota KKR. Mereka harus memahami makna kebenaran itu, sehingga setiap acuan berpikir dan bertindaknya senantiasa harus berlandaskan pada kebenaran. Apalagi jika hakikat kebenaran itu didefinisikan sebagai “Al-haqqu mirrabika… (QS. 2:147)”“Kebenaran datang dari Tuhanmu…”, maka tanggung-jawabnya langsung pada Tuhan dan bukan pada manusia pejabat atasannya.

Berlandaskan pada definisi tersebut di atas, secara fitrah – jika anggota KKR telah menghayati hakikat kebenaran – maka sejatinya ia telah jauh dari sikap munafik, berani karena benar, bersikap jujur dan sederhana. Pekerjaannya semata-mata telah bernilai ibadah dan pengabdian pada kebenaran itu sendiri, pada Tuhan yang Mahaesa. Alangkah bahagianya jika bisa merasakan ungkapan sufi Jalalludin Rumi, bahwa hanya dengan menjadi kebenaran yang bisa merasakan hakikat kebenaran itu sendiri.

V. Hakikat HAM

Definisi HAM telah diuraikan oleh UU No. 39/1999 tentang HAM. Pembagian hak dan hak asasi (masih rancu) juga dibagi menjadi 10 (sepuluh) kelompok oleh UU tersebut, terutama pasal 9-66. Pada uraian berikut merupakan pendapat pribadi penulis.

Setiap mahluk hidup – bahkan materi pun – mempunyai kedudukan masing-masing. Menurut istilah manusia, kedudukan itu memiliki hak dan kewajiban secara proporsional. Secara filosofis, hak dan kewajiban analog dengan peluang dan kendala. Suatu keadaan menurut orang umum sebagai kendala, bagi orang berilmu bisa menjadi peluang. Begitu juga hak dan kewajiban. Misalnya kewajiban beramal dan menyantuni anak yatim, tetapi bagi orang alim hal itu sudah menjadi hak untuk beramal dan menyantuni anak yatim.

Jadi, memahami hak dan kewajiban sudah bukan lagi harus dipahami secara parsial. Hak dan kewajiban harus dipahami secara masif bersama-sama. Begitu juga dengan HAM yang tidak harus dipahami bahwa HAM hanya milik kaum tertindas dan kaum tergusur. Misalnya bagi penindas, mungkin secara fisik ia tampak tegar gagah perkasa. Tetapi ada satu unsur asasi yang hilang, yaitu hati nurani. Secara fitrah manusiawi dan pendekatan persuasif, anggota KKR yang lebih kredibel terhadap HAM bisa mengembalikan unsur atau hak asasi yang hilang itu kepadanya. Jadi, hakikat HAM adalah kebersamaan milik seluruh bangsa, bagi seluruh umat manusia meraih keseimbangan hidup.

V.1. Definisi

Definisi HAM pada tulisan ini sedikit berbeda dengan definisi HAM menurut UU No. 39/1999. Pada dasarnya, definisi HAM mempunyai sudut pandang 2 (dua) sisi:

þ  Secara statis, hak asasi manusia yaitu hak hidup yang tidak bisa ditawar-tawar. Penghilangan nyawa manusia atas manusia di dalam keadaan apapun merupakan pelanggaran berat terhadap HAM;
þ  Secara dinamis, hak asasi manusia yang harus diakomodir pemerintah berdaulat yaitu hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan sebagai turunan hak hidup. Dengan mendapat pendidikan cukup, pekerjaan sesuai (tentu diimbangi penghasilan layak) dan kesehatan terpelihara baik; maka hak hidup akan menjadi manusiawi.

Definisi tersebut di atas tidak berhenti pada teori belaka. Interaksi yang dinamis dengan negara harus diintensifkan agar hak-hak tersebut bisa kembali kepada negara. Perlakuan wajar dan manusiawi oleh negara terhadap hak dan kewajiban warganya, diharapkan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang andal untuk membangun bangsa dan negara menjadi lebih berwibawa, kompetitif dan disegani bangsa lain.

V.2. Realisasi

Definisi tersebut di atas memang sangat teoritis atau bersifat akademis. Tetapi, bukan suatu hal yang tidak mungkin jika ada kemauan kuat dari pemegang kekuasaan untuk secara demokratis menegakkan kembali HAM. Realisasi dari penerapan HAM tidak bisa dilakukan secara bottom-up, tetapi harus up-down.

Demokratisasi dan perubahan sistemik yang dirintis oleh Presiden harus diikuti lini di bawahnya seperti menteri, gubernur, walikota, bupati hingga camat sekalipun. Harmonisasi hidup akan terwujud jika pemimpin instansi sekecil apa pun menghayati hakikat kebenaran.

Sulitnya merealisasikan sesuatu yang ideal diakibatkan segelintir orang jahat yang berhasil “menyusup” ke lingkar kekuasaan dan merusak tatanan masyarakat yang telah mapan secara tradisi. Bisikan hawa nafsu yang dibisikkan setan ke hati manusia, mengakibatkan perseteruan kebenaran versus kebatilan masih berlangsung abadi.

Upaya demokratisasi dan perubahan sistemik oleh Presiden soal pemberantasan korupsi dan penegakkan HAM bukan berarti tidak ada hambatan. Mereka yang merasa terancam karena kejahatannya di masa lalu, sebagian besar pasti tidak tinggal diam. Jika secara persuasif mereka tidak bisa diajak kembali sadar, maka kekuatan rakyat yang mendukung upaya demokratisasi dan perubahan sistemik oleh Presiden yang akan membawanya ke pengadilan.

VI. Kepedulian terhadap HAM

Keberadaan manusia terhadap manusia lain pasti dibatasi oleh hak dan kewajiban. Agar tidak terjadi pergesekan hak dan kewajiban, maka negara harus mengatur secara adil hak dan kewajiban warganya. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pada tatanan tertentu, hak dan kewajiban mempunyai batas yang tipis. Posisi hak seseorang merupakan kewajiban bagi orang lain untuk menghormatinya, demikian pula sebaliknya.

Merumuskan langkah-langkah strategis dalam rangka kepedulian terhadap HAM, maka KKR bisa bekerja sama langsung dengan Komnas HAM dan instansi yang terkait lainnya. Kerja sama itu untuk menentukan definisi, lingkup kerja dan batas-batas kewenangan antara KKR dan Komnas HAM.

Setelah batas kewenangan antara KKR dan Komnas HAM, kerja sama bisa berlanjut dengan instansi pemerintah lainnya, dengan lembaga swadaya masyarakat, tokoh-tokoh informal masyarakat, kalangan akademisi dan stake holder lainnya untuk menyosialisasikan kepedulian terhadap HAM, bahkan hingga tingkat kecamatan dan kelurahan sekali pun.

VI.1. Kasus Lokal
Kebanyakan kasus pelanggaran terhadap HAM yang bersifat lokal diwarnai oleh tuntutan kaum buruh atas hak-hak yang harus mereka dapatkan secara wajar. Misalnya standar gaji sesuai upah minimum regional, cuti hamil, tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur dan lain-lain.

Kepedulian terhadap HAM yang bersifat lokal adalah tanggung-jawab langsung bagi KKR-Propinsi. Jika KKR-Propinsi dengan keterbatasannya meminta bantuan keahlian dan fasilitasi, maka KKR-Pusat akan membantu.

VI.2. Kasus Nasional
Perbedaan kasus pelanggaran terhadap HAM yang bersifat lokal dan nasional tergantung dari ekspose pelaku. Dari segi wilayah bisa saja bersifat lokal, tetapi isu yang meluas bisa hingga tingkat nasional, seperti kasus Marsinah, Udin dan lain-lain. Kasus pelanggaran terhadap HAM yang benar-benar bersifat nasional misalnya kasus G-30-S/PKI tahun 1965, baik mereka yang jelas berideologi komunis atau mereka yang membantai orang yang diduga komunis.

Kepedulian terhadap HAM yang bersifat nasional dilakukan oleh KKR-Pusat.

VI.3. Kasus Internasional
Kasus pelanggaran terhadap HAM yang bersifat internasional, seperti banyak diketahui oleh umum, banyak dilakukan oleh negeri adi-daya terhadap negara yang lebih kecil seperti Irak, Afganistan dan Palestina. Kepedulian Indonesia terhadap HAM – selain aktif di PBB – bisa dengan menggalang kerja sama dan solidaritas di antara negara-negara berkembang Asia-Afrika, organisasi ASEAN, OKI, OPEC dan lain-lain.

Kepedulian terhadap HAM yang bersifat internasional dilakukan oleh Negara.

VII. Rekonsiliasi: Sangat Memungkinkan

Melihat kasus pelanggaran berat terhadap HAM pada masa lalu, memang berat pula bagi KKR mengungkapkan kebenaran fakta kejadian dan melakukan rekonsiliasi antara kedua pihak yang saling berhadapan dalam konflik. Selain hambatan dan rintangan; bahkan agitasi, ancaman dan teror merupakan resiko yang harus dihadapi oleh KKR. Tetapi, dengan niat yang tulus dan komitmen nasionalisme terhadap bangsa dan negara, semuanya itu menjadi nilai ibadah kepada Tuhan yang Mahaesa. Ketakutan yang paling ditakuti oleh anggota KKR tidak lain adalah menyimpang dari kebenaran sebagai atribut yang melekat pada nama KKR.

Dengan kekuatan pribadi, kredibilitas profesi, wibawa, adil, sifat jujur dan pola hidup yang sederhana; akan sangat mempengaruhi anggota KKR ketika mengemban tugasnya melakukan rekonsiliasi. Sangat memungkinkan dilakukan rekonsiliasi antara kedua pihak yang saling berhadapan, bermusuhan bahkan saling bertikai, jika upaya itu dilakukan oleh orang yang benar-benar mempunyai komitmen seperti disebutkan di atas. Seperti dikatakan Jalalludin Rumi, bahwa hanya dengan “menjadi” kebenaran yang bisa merasakan kebenaran; maka sesuai asas pembentukan KKR, anggota KKR tidak hanya harus memahami tetapi juga harus “menjadi” asas pembentukan KKR.

VIII. HAM: Dulu, Kini, Esok

O Tempora! O Mores! Itulah warisan Cicero bagi siapa pun yang ingin menjeritkan kegalauan zaman yang dialaminya. Tetapi bagi sebagian warga bangsa yang masih menyimpan nilai-nilai idealisme, profesionalisme dan nasionalisme, harus mampu mengatasi kegalauan itu dengan tekad membenahi potensi yang dimiliki. Optimisme harus senantiasa bersemayam di setiap warga bangsa, karena ketika upaya demokratisasi dan perubahan sistemik dicanangkan Presiden soal pemberantasan korupsi (melalui KPK) dan penegakkan HAM (melalui Komnas HAM dan KKR), seluruh rakyat harus menyambut dengan gembira.

Masa lalu kelabu terkadang bisa diselesaikan dengan baik, terkadang harus disisihkan, terkadang harus meninggalkan rasa pedih menyakitkan,… bahkan terkadang membiarkannya tidak terselesaikan karena memang harus demikian. Sebagai manusia dan bangsa yang mempunyai masa depan, tidak bisa hanya merenung berpangku tangan mengenang masa lalu atau berjalan mondar-mandir di tempat.

Kini, niat baik Presiden untuk membenahi dan menata kembali rumah bangsa yang porak-poranda harus ditindak lanjuti oleh warga bangsa dengan segala potensi yang dimiliki. Hanya dengan kebersamaan antara rakyat dengan pemerintah, masa depan bangsa masih mempunyai ruang kehormatan untuk disegani oleh bangsa-bangsa lain.

Membenahi dan menata kembali puing-puing yang masih bisa menopang bangunan rumah bangsa, membutuhkan kejelian, ketrampilan dan ketelitian ekstra dari masing-masing “ahli bangunan” sesuai bidangnya. Dengan memperhatikan ketelitian dan detail masalah, diharapkan tidak ada yang terlewatkan sehingga ada pihak-pihak yang merasa dikecewakan. Untuk masalah yang satu ini, dan sekaligus menutup makalah ini, ada baiknya menyitir ungkapan seniman Italia, Michel Agniolo Buonarroti (1475-1564) – lebih dikenal dengan nama Michelangelo – yang lukisan dan patungnya begitu detail dan teliti, berpendapat arif: “Janganlah sekali-kali mengabaikan detail-detail yang kecil di dalam bekerja, karena kesempurnaan itu selalu dibentuk dari dan oleh perkara-perkara yang kecil, sedangkan kesempurnaan itu sendiri bukan lagi hal kecil.”


Salah satu sketsa saya "ARISTOTELES" (01/07/1998)
Amiscus Plato, magis amica veritas Plato
Plato memang sahabatku, tetapi kebenaran lebih akrab bagiku

***
=======================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar