KISAH ini ingin mengingatkan lagi bahwa kesendirian bukanlah hal yang aneh - apalagi bagi kalangan sufi yang telah menapaki tahapan khalwat atau uzlah...
Berikut ini adalah kisah nyata yang pernah dialami sendiri oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bersama tokoh NU, K.H. Said Agil Siradj (kini Ketum PB Nahdlatul Ulama). Kisah ini diceritakan K.H. Said Agil Siradj (mohon ijin disingkat SAS saja) - tidak lama setelah Gus Dur wafat pada tanggal 30 Desember 2009, dan sangat berkesan di hati saya.
Ketika beliau di Mekkah, Gus Dur mengajak K.H. SAS berjalan-jalan mencari seorang yang alim. Tidak lama kemudian dijumpainya seseorang dengan banyak santri yang sedang mendengarkan petuah-petuahnya. K.H. SAS bertanya, "Inikah orang alim itu, Gus?" Jawaban Gus Dur hanya menggelengkan kepala, keduanya berjalan lagi.
Selang beberapa menit kemudian, dijumpainya seorang yang sedang menyampaikan taushiyah diiringi zikir bersama disertai tangisan para jamaah. K.H. SAS bertanya lagi, "Inikah orang alim yang Gus maksudkan?" Kali ini Gus Dur masih menggeleng.
Cukup lama keduanya berjalan lagi. Sesampai di salah satu sudut jalan, dijumpainya ada seseorang yang sedang mojok sendiri. Gus Dur menghampirinya. (Saya lupa detail cerita K.H. SAS, intinya dialah orang alim yang dicari Gus Dur). Dari penampilannya sangat tidak berperawakan jika ia layak disebut orang alim, saleh, waskita, waliyullah.... Tidak ada seorang murid atau santri yang sedang diajarinya, mendengarkan petuah atau tausiyahnya. Namun Gus Dur berkeyakinan bahwa dia adalah sufi sejati...
Konon sufi yang ditemui Gus Dur itu kemudian meminta ampun kepada Allah, bertanya mengapa masih ada orang yang mengenaliku? Intinya K.H. SAS menyimpulkan bahwa tiadalah sufi sejati yang bisa mengenali sufi sejati melainkan ia berpredikat sebagai sufi sejati. Sebagaimana seorang pujangga besar Jalalludin Rumi berujar, “Hanya
dengan menjadi kebenaran saja yang
bisa memahami / menghayati adanya hakikat Kebenaran
itu sendiri”.
Kebanyakan para peziarah batin - katakanlah sufi - pada banyak momentum menyukai kesendirian, karena pada saat yang demikian ia hanya bersama Tuhannya. Orang umum melihatnya sendiri, tetapi baginya yang penting adalah ia senantiasa 'bercengkerama' dengan Tuhannya. Jadi, biarlah ia tampak sendiri dan bahagia...
"Bersama Gus Dur" di Istana Merdeka, Jakarta (Desember 2006) |
=======================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar