Kamis, 12 Januari 2012

Da'wah Religi: Notulen Diskusi Buku "Bacalah..."







Notulen Diskusi
“Kebangkitan Islam melalui Memakmurkan Masjid”
Bedah Buku “BACALAH, dengan Nama Tuhanmu yang Menciptakan”
Masjid Ummul Mu’minin, Jln. Baratajaya, Surabaya
Minggu, 09/10/11 jam 08.00 – 11.00 wib


SAMBUTAN TA’MIR MASJID UMMUL MU’MININ
Bpk. H. Munir Qomari:
Pada awalnya Pak Didik datang ke kami pada pertengahan Bulan Suci Ramadhan kemarin, dengan membawa surat pengantar dan dua buku tulisannya, yaitu “BACALAH dengan Nama Tuhanmu yang Menciptakan” dan “Pembangunan Infrastruktur berbasis Data dan Peta GPS/GIS/IT” (beserta Prioritas Penangannya). Setelah mendengar penjelasan singkat dari penulisnya langsung, tergambar mimpi besar Pak Didik untuk mengembalikan / mengoptimalkan peran masjid sebagai pusat kegiatan umat dalam semua kegiatan. Saya langsung merespon positif dan memberi keleluasaan untuk mengadakan bedah buku / sosialisasi materi buku kepada para anggota Ta’mir Masjid Ummul Mu’minin yang waktunya direncanakan setelah Ramadhan;

Kita tidak memungkiri kondisi bermacam masjid di sekitar kita. Ada pengalaman yang sebenarnya terjadi. Ada masjid ketika kita selesai sholat di sana, maka bekas tempat sujud kita dibersihkan karena kita “beda aliran” dengan mereka, sehingga bekas tempat sujud kita di masjid mereka dinilai haram, Masya Allah…
Dengan adanya acara ini diharapkan menggugah kesadaran bersama sebagai umat dengan jumlah penduduk terbesar dan dengan jumlah tempat ibadah (masjid) terbanyak pula di negeri ini, untuk kembali segera pada satu tujuan da’wah, yaitu rahmatan lil ‘alamiin seperti paparan synopsis “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya” 

PRESENTASI BEDAH BUKU
Penulis:
Mengembalikan “Kebangkitan Islam melalui Memakmurkan Masjid” adalah mimpi besar bersama umat Islam. Perlu manajemen organisasi dan membangun jaringan antar masjid dengan memanfaatkan teknologi informasi geografis (GPS/GIS/IT). Ini relevan dengan buku profesi yang sudah teraplikasi, selain butuh perjuangan untuk mengikis ego pribadi/kelompok/golongan. 
  • Perkenalan biodata Penulis; 
  • Penjelasan “sejarah” dan latar belakang / struktur penulisan buku “BACALAH…” dan “Pembangunan Infrastruktur…” serta keterkaitan antar kedua buku tersebut; 
  • Kewajiban berda’wah bagi setiap muslim sesuai kemampuannya, baik da’wah profesi maupun da’wah religi; 
  • Paparan synopsis “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya”
  • Penjelasan Skenario Proposal Perubahan; 
  • Penjelasan Daftar Isi / Jumlah Kajian di dalam buku “BACALAH…” 
  • Penjelasan Detail Kajian 34. Pengembaraan Jiwa sebagai prioritas penanganan / pembahasan mengawali bedah buku / pemahaman keseluruhan. 
TANYA JAWAB:
Pertanyaan Bpk Rifa’i:
Dari segi istilah / tata bahasa, mengapa di dalam buku ini ‘kok’ banyak menyebutkan Tuhan dan bukan Allah saja? Padahal Allah itu kan pasti Tuhan dan Tuhan itu belum tentu Allah; 

Untuk memakmurkan / menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan umat seperti program “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya” kok saya pesimis melihat masjid di sekitar sini saja yang berbeda “aliran” merasa “jor-joran” dengan mengeraskan speaker, sehingga mengganggu jama’ah masjid sini yang sedang sholat (baik ma’mum ketika mengucapkan amin, maupun ketika imamnya membaca bacaan di dalam sholat, sehingga sangat mempengaruhi / mengganggu gerakan, bacaan dan kekhusyu’an sholat jama’ah di masjid ini). Bagaimana menyikapi hal ini? 

Penjelasan Penulis:

Penyebutan kata “Tuhan” dan bukan “Allah” adalah strategi tekstual agar buku ini bisa diterima oleh semua kalangan, baik muslim maupun yang non-muslim. Kata ‘Allah’, ‘Tuhan’, God, Dewa, Sang Hyang Widi adalah sebutan tekstual yang hakikatnya sama ditujukan kepada Sang Pencipta alam semesta, langit-bumi dan semua mahluk – meskipun sedalam apa pemahamannya itu tergantung kadar ilmu masing-masing. Bahkan pada penerbitan tersendiri, huruf arab dan segala item yang “berbau” Islam akan dihilangkan untuk konsumsi di luar agama Islam. Buku ini pada hakikatnya lebih menekankan konstekstual daripada tekstual, agar mudah dipahami oleh orang yang beragama di luar agama Islam. Seperti halnya makna kata “masjid”. Jika tempat ibadah agama lain seperti gereja, pura, sinagoge dan lain-lain difungsikan sebagai tempat bersujud kepada Tuhan, maka tempat ibadah tersebut bisa disebut “masjid”. Demikian pula makna Islam yang berasal dari kata ‘aslama yang berarti berserah diri. Ini perlu kajian lebih lanjut; 

Di antara kalangan umat Islam sendiri sudah terbukti banyak perbedaan hingga menciptakan suasana yang kurang harmonis di antara sesama umat Islam, bahkan hal tersebut sudah tercermin dari eksistensi masjidnya, seperti yang disampaikan pada sambutan Pak Munir dan apa yang telah disampaikan oleh Pak Rifa’i barusan. Memang perlu pemahaman ilmu yang lebih luas/dalam dan kebijakan yang bisa diterima oleh semua pihak, walau ini memang sangat sulit – tetapi jangan pesimis. Sikap mengalah adalah jauh lebih baik dari pada menghadapinya dengan penuh ego dan emosi. Melakukan konsolidasi ke dalam jauh lebih bermanfaat. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di masjid kita, mulai kegiatan peribadatan, kesehatan dengan adanya klinik seperti di masjid ini, pendidikan TPQ yang juga sudah ada di masjid ini dan lain-lain seperti dipaparkan pada synopsis. Satu contoh kongkrit lagi sebagai tambahan kegiatan di bidang ekonomi. Masjid ini bisa membangun gudang sembako untuk melayani jama’ah dengan system pesan antar by call. Ini selain memudahkan pemenuhan konsumsi sembako bagi jama’ah, keuntungan bisa masuk masjid untuk kegiatan amal, sosial dan lain-lain. Pengembangan kegiatan ekonomi lainnya yang berbasis masjid bisa berlanjut lebih luas… Pak, kalau nuruti pesimis, saya tidak akan tampil di sini karena berbagai alasan seperti awal presentasi saya tadi. Tetapi, berhubung ada kewajiban atau panggilan da’wah, kegiatan ini harus saya lakukan… 

Pertanyaan Ibu Munir:

  1. Cover buku, judul tulisannya kok terlalu kecil sehingga tidak mendominasi cover buku. Padahal komsumen itu di dalam memilih atau membeli buku, cover menjadi hal pertama yang dilihatnya dan membuatnya tertarik;
  2. Daftar isi menunjukkan buku ini terkesan saintis karena ada daftar gambar, daftar tabel dan seterusnya;
  3. Perlu index di belakang buku untuk memudahkan mencari kata-kata yang ingin dicari;
  4. Buku terlalu tebal tapi font huruf terlalu kecil. Bagaimana kalau dijadikan beberapa buku saja agar tidak terlalu berat, dan font huruf juga diperbesar agar memudahkan dibaca terutama bagi orang tua;
  5. Kalau menjadi penulis biasanya harus memiliki ciri khas. Dari buku ini saya belum melihat ciri khas penulisnya.
  6. Gambar 1. Skema Identifikasi Nafsu dan Ilmu (hlm 15) penjelasannya belum ternarasi dengan jelas;
  7. Keterangan mengenai 5 Macam Kebenaran: yaitu Kebenaran Dogmatis, Empirik, Ilmiah, Filosofis, Agamis (hlm 303) penjelasannya terlalu singkat, mohon bisa lebih diperjelas lagi.
Penjelasan Penulis:
  1. Untuk tampilan cover adalah tergantung selera masing-masing orang. Pada bulan Juli 2011, ketika buku ini saya tawarkan kepada Radio SMART FM, manajer siarannya pertama kali tertarik melihat cover didominasi aneka ragam gambar dari berbagai tema dan agama – yang pada akhirnya membaca judul dengan ukuran relative kecil itu. Yang kedua, ketertarikan karena penulisnya berlatar belakang pendidikan teknik. Saya ditawari menyampaikan ringkasan kajian demi kajian dengan format motivator seperti cara bicara motivasi Andrie Wongso, Tung Desem Waringin, Mario Teguh dan lain-lain. Rencananya untuk acara motivasi religi selama bulan suci Ramadhan di radio SMART FM Surabaya. Saya sudah usaha latihan dengan waktu yang amat singkat, hanya 3-4 hari. Tetapi, berhubung saya sudah terbiasa menjadi penulis dan belum terbiasa sebagai pembicara, ya sulit dan tidak bisa menyampaikan ke dalam format motivasi seperti motivator di atas. Tetapi untuk usul cover dan judul seperti disampaikan Bu Munir, saya berterima kasih atas masukannya, akan saya pertimbangkan di masa mendatang. Terima kasih, Bu Munir;
  2. Daftar isi memang mengesankan penulisnya sebagai orang teknis yang sangat akrab dengan penulisan ilmiah (saintis) yang dilengkapi gambar, tabel hingga grafis;
  3. Masalah index di belakang buku memang belum ada, Bu. Ini dikarenakan kesibukan saya juga melaksanakan konsep buku profesi di tempat dinas saya. Namun untuk memudahkan mencari kata-kata atau materi yang diinginkan, bersamaan dengan acara ini sudah saya siapkan materi buku dalam bentuk file BACALAH.pdf. Sehingga untuk mencari kajian tertentu tinggal klik di daftar isi, atau untuk mencari kata yang diinginkan tinggal search kata tersebut lalu klik saja…;
  4. Ketebalan buku menurut Penulis agar memudahkan terangkum di dalam satu buku. Untuk ukuran font juga pertimbangan subyektif Penulis, namun jika untuk orang tua dinilai terlalu kecil dan sulit dibaca akan dipertimbangkan pada edisi kedua nantinya;
  5. Untuk ciri khas yang dimaksud Bu Munir, saya sendiri bingung ciri spesifikasi penulis pada diri saya. Karena selain menulis, saya juga sebagai birokrat, bisa seni (menggambar/melukis, puisi)… tetapi saya tetap berterima kasih atas masukannya. Saya akan mencari ciri khas pribadi saya sebagai penulis. Terima kasih, Bu;
  6. Baik, Bu. Semua gambar, tabel, grafis dan lain-lain pemahaman akan saya jabarkan lebih jelas pada penerbitan edisi mendatang. Namun mungkin perlu diketahui bahwa sebenarnya untuk buku ini saya tidak memikirkan penjualan secara komersial. Saya ingin menghibahkan kedua buku ini beserta penerbitannya ke masjid yang mampu mengemban amanat program “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya”. Untuk koreksi dan segala format di dalamnya saya serahkan ke masjid tersebut nantinya…;
  7. Untuk pertanyaan atau masukan pada item 7 ini kiranya sudah terjawab pada item 6. 
Pertanyaan Bpk. Prof. Didik:
Pada umumnya saya sangat mengapresiasi upaya Pak Didik – kebetulan nama kita sama – melalui acara bedah buku seperti ini sebagai upaya da’wah sesuai dengan kemampuan secara sistemik – terlepas dari segala kekurangannya. Secara umum pula saya juga setuju dengan substansi buku ini, terutama ‘prioritas penanganan’ yang harus diawali dari Kajian 34. Pengembaraan Jiwa. Dengan jiwa yang tenang atau nafsul muthma’innah, Insya Allah semua perbedaan dan masalah apa pun itu bisa diselesaikan dengan arief dan bijaksana. Tetapi untuk memahami esensi jiwa hingga kunci mengelola nafsu itu memang harus melibatkan ilmu tasawuf, termasuf definisi nafsu yang perlu lebih diperjelas mulai nafsul ammarah, lawwamah dan muthma’innah. Masalahnya, siapkah jama’ah yang pada umumnya masyarakat awam ini menerima ilmu tasawuf yang penuh simbolis dan sulit diterima akal.

Penjelasan Penulis:


Untuk memahami dan menghayati makna Islam sepenuhnya, mau tidak mau harus menapaki tingkatan tangga syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat sebagai bingkai ilmu tasawuf. Pembahasannya memang sangat panjang dan tidak mungkin dibahas pada kesempatan sekarang.

Selama penulisan buku sejak mulai sekitar tahun 2000-an, memang mengalir begitu saja. Saya mengawali dengan Kajian 1. Samudera al-Fatihah sebagai surat pembuka Kitab Suci al-Qur’an. Demikian pula kajian berikutnya sesuai ide-ide yang ada di kepala pada saat itu. Namun setelah jadi dan melihat daftar isi, kemudian membandingkan buku profesi yang pada akhirnya harus ada analisa dan penentuan prioritas masalah… maka untuk pembahasannya perlu satu kajian sebagai prioritas penanganan. Setelah ikhtiar, akhirnya terpilih Kajian 34. Pengembaraan Jiwa sebagai prioritas penanganan, awal pembahasan pada kajian buku ini. Memang cukup berat bagi orang awam, sehingga perlu waktu sendiri untuk memahami secara detail. Pada kesempatan ini masih bersifat global. Terima kasih atas apresiasinya, Pak Didik. Upaya da’wah secara sistemik menjadi tanggung jawab kita bersama, Pak…

Pertanyaan Bpk. Aziz:

  1. Saya setuju dengan Bu Munir tentang cover yang judulnya perlu diperjelas/diperbesar. Karena setiap konsumen yang akan membeli buku pasti pertama kali melihat cover bukunya;
  2. Buku juga kalau dilihat dari ketebalannya kok terlalu tebal. Bagaimana kalau dibuat seri menjadi 5 buku? Jadi masing-masing buku ada 10 kajian?
  3. Pada makalah synopsis yang tiga lembar ini, saya membaca ‘rumah Tuhan’ selain masjid ini apakah juga termasuk gereja, pura dan lain-lain? Begitu juga kalau ada satu atau beberapa masjid yang sudah diberdayakan, apakah menyebarkan ‘virus-virus cinta’ ke tempat ibadah lain?

Penjelasan Penulis:
  1. Baik, Pak. Untuk masalah cover berikut redaksional isinya – termasuk ukuran font yang mungkin masih kecil, sekali lagi akan saya pertimbangkan;
  2. Untuk item 2, sama jawabannya dengan item 1;
  3. Benar, Pak. Agama Islam sebagai penyempurna agama-agama terdulu memang harus memberikan rahmatan lil ‘alamiin bagi siapa saja secara bijak, termasuk kepada mereka yang tidak beragama Islam. Begitu pula jika sudah ada satu atau beberapa masjid yang telah ‘makmur’ dengan segala kegiatan positifnya, maka ia berkewajiban harus menularkan ‘virus-virus cinta’ tersebut (meminjam istilah Ahmad Dani dari Grup Band Dewa 19). Tidak saja kepada masjid lainnya dengan membangun jaringan antar masjid seperti telah saya presentasikan tadi; namun juga kepada tempat ibadah lain bagi umat yang beragama lain – bahkan juga kepada mahluk-mahluk lain seperti hewan dan tmbuh-tumbuhan beserta alam sekitarnya – sebagai konsekuensi logis-religis dari rahmatan lil ‘alamiin tadi.
Pertanyaan Bpk. Herman:

  1. Sebelumnya saya sangat menghargai anak muda seperti Pak Didik yang bisa menulis apalagi berusaha berda’wah sesuai kemampuannya. Dan memang diharapkan generasi muda bisa menulis untuk mengekspresikan pemikirannya terhadap berbagai masalah yang dihadapi – seperti tercermin pada acara ini (sambil mengacungkan kedua jempol tangan beliau);
  2. Mohon maaf untuk mengritik soal alur kajian demi kajian menurut saya sepertinya belum nyambung. Kalau memang sulit, bagaimana jika dibuat saja buku saku. Setiap kajian satu buku saku yang lebih praktis sehingga menjadi 50 buku saku.

Penjelasan Penulis:
  1. Benar, Pak. Generasi muda adalah calon pemimpin, sehingga perlu pendidikan dan pengkaderan yang optimal. Seorang pemimpin itu harus bisa berpikir kritis, praktis, strategis/taktis yang dituangkan ke konsep atau tulisan – baik sebagai birokrat seperti pemikiran yang terkonsep dalam buku profesi hingga pemimpin negara atau umat yang terkonsep di dalam buku religi ini. Saya pribadi prihatin dengan kondisi anak muda atau generasi muda sekarang yang sangat jauh dari nilai-nilai profesionalisme, nasionalisme hingga spiritualisme dari nilai luhur agama. Saya sendiri kalau mengulang pesimis seperti telah dikemukakan Pak Rifa’i di awal sesi tanya-jawab, ya kita tidak akan berubah. Saya yang bukan siapa atau bukan apa-apa ini menulis buku agama/religi, saya tidak percaya diri. Tetapi, setelah tiga tahun, bisikan atau panggilan untuk da’wah sesuai kemampuannya itu terus-menerus semakin intens, sehingga saya ‘terpaksa’ menyampaikannya dengan segala keterbatasan dan kelemahan saya. Tetapi Allah Maha Bijaksana kok, karena kewajiban kita hanya menyampaikan dengan jelas (sesuai kemampuan). Jika setiap pribadi muslim dengan segala potensi mulai dari tenaga, ilmu hingga finansial yang dimilikinya sudah merasa terpanggil berda’wah melakukan tugasnya, maka sistem berda’wah kolektif secara sistemik akan mudah; dan perubahan positif – dalam hal ini “Kebangkitan Islam melalui Memakmurkan Masjid” pun akan terjadi. Insya Allah…
  2. Untuk item 2 seperti pertanyaan sebelumnya yang senada akan saya pertimbangkan. Terima kasih, Pak…
Pertanyaan Ibu Maryono:

  1. Saya berterima kasih kepada Pak Didik karena setelah membaca buku ini telah menjelaskan beberapa pemahaman yang tidak/belum saya temui pada setiap pengajian saya sebelumnya. Seperti sholat yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw ketika Isra’ Mi’raj yang pada awalnya menerima perintah 50 waktu sholat setelah ada ‘tawar menawar’ dari langit ke langit setelah berjumpa dengan nabi terdahulu pada setiap langitnya dan disampaikan kepada Allah berulang kali hingga menjadi 5 waktu (hlm 392). Saya setuju kalau ini tidak masuk akal, masak dengan Allah ada proses tawar-menawar soal sholat? Atau benar jika soal ini dilewati saja, yang penting hasil sholatnya sekarang bagaimana. Tapi masih ada lho ustadz yang mempermasalahkan hal ini…
  2. Saya pernah sewot kepada ustadz yang menjelaskan di surga yang ada bapak-bapak yang ditemani dengan bidadari-bidadari. Perempuan kebanyakan di neraka. Saya mau memprotes ini kepada ustadznya tapi gak ada waktu… nah, di sini / dari buku ini saya baru memahami bahwa di surga itu yang ada adalah jiwa-jiwa yang tenang atau nafsul muthma’innah yang “tidak berjenis kelamin” seperti telah dijelaskan tadi. Terima kasih, Pak…
  3. Soal Kajian 37. Surga dan Neraka (hlm 357) terutama pada Tabel 11. Illustrasi “Surga” (hlm 364) dan Tabel 12. Illustrasi “Neraka” sedikit banyak saya setuju. Yang saya tidak setuju adalah ‘sungai khamar’ yang tidak memabukkan. Saya bacakan ya; “…Sungai khamar adalah simbol urat syarat sufi yang mengalirkan zikir seakan mabuk dalam ruh ketuhanannya, tapi justru saat ia mencapai puncak kesadarannya… tetapi banyak yang menilainya mabuk… bahkan gila jika ia terlihat aneh secara berlebihan oleh pandangan di mata umum.”
Penjelasan Penulis:
  1. Semua peristiwa yang terjadi di alam semesta ini bahkan hingga sampai pada lapis langit demi langit, harus memenuhi syarat dasar keilmiahannya atau logis / masuk akal. Sementara jika sudah pada tahapan semakin tinggi, bukan berarti tidak ilmiah, tidak logis atau tidak masuk akal. Fenomena metafisika seperti itu karena nalar dan logika kita yang sangat terbatas dan tidak mampu menelusurinya lebih lanjut. Untuk salah satu fenomena Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi Muhammad Saw, memang sangat tinggi ilmunya. Kisah-kisah yang dialami Nabi Saw tersebut penuh dengan symbol atau tamsil. Sedangkan untuk “tawar-menawar” jumlah waktu sholat dari 50 menjadi 5 waktu sholat kok menurut saya tidak memuat pesan simbolis, justru mencerminkan kelemahan yang sangat tidak masuk akal. Beberapa fenomena metafisika telah saya jelaskan di dalam buku saya, memang penuh symbol atau tamsil. Ilmu yang berkenaan ini bukan lagi bersifat fisik seperti ilmu syari’at atau fiqih, tetapi sudah harus menggunakan ilmu tasawuf… Penjelasan yang lebih detail akan memakan waktu sangat lama. Memang benar, Ibu, terkadang sesuatu yang tidak mampu dicerna akal untuk sementara ditanggalkan dulu – seperti perintah (jumlah) sholat yang diperoleh Nabi Saw ketika Isra’ Mi’raj. Yang penting adalah hasil dari sholat tersebut apakah mampu merubah perilaku manusianya dari perbuatan keji dan munkar…
  2. Benar Ibu, ceramah agama dari ustadz atau mubaligh seharusnya didukung dengan pemahaman iman, ilmu dan imajinasi yang menyatu seperti penjelasan saya tadi. Dengan iman saja penjelasannya mungkin belum bisa mengena karena diharuskan percaya taqlid tanpa dukungan ilmu yang relevan. Perpaduan iman, ilmu, imajinasi akan melahirkan pemahaman dan penghayatan yang yakin, mantap dan indah…
  3. Untuk pertanyaan item 3 ini kembali pada masalah tasawuf, Bu. Jika memang sulit memahami perilaku para sufi, ya kita yang awam tidak usah memaksakan diri. Hal ini terlihat dari cerita pertemuan Nabi Khidr dengan Nabi Musa. Bukankah ‘perilaku’ Nabi Khidr pada kisah tersebut sangat tidak masuk akal, bahkan tidak manusiawi?
Pertanyaan Bpk. Eka:
Saya tidak akan memberikan kritikan maupun pertanyaan. Namun, apa yang sudah saya baca sekilas dari buku ini dan setelah mengikuti acara ini dari penjelasan Penulis langsung, saya sebagai generasi muda dan aktifis masjid merasa sangat tergugah untuk mengembalikan fungsi masjid sebagai pusat atau sentral / strategi dakwah dengan segala macam kegiatan positif yang bermanfaat bagi jama’ah, umat dan masyarakat sekitar masjid pada umumnya. Terima kasih Pak, itu saja komentar saya…

Penjelasan Penulis:

Baik, Pak Eka, terima kasih atas komentar positifnya. Tetapi akan lebih efektif lagi jika generasi muda Islam seperti Pak Eka mengambil peran aktif terhadap kegiatan seperti ini yang melibatkan masjid beserta potensi yang dimilikinya, dengan pemahaman Islam yang menyatukan umat. Insya Allah, “Kebangkitan Islam melalui Memakmurkan Masjid” akan terwujud dengan dinamika generasi muda Islam seperti ini, amin…














Lokasi Masjid Ummul Mu'minin, Cek Jarak dan Sudut Kiblat dengan GPS vs Google Earth
Penentuan koordinat masjid, cek jarak dan sudut kiblat Masjid dengan GPS di Google Earth adalah salah satu bentuk kegiatan FAST-3i Cummunity di dalam "gerakan" damai revolusi integral semua aspek kehidupan clustering berbasis masjid seperti telah dibahas di dalam sinopsis Seribu Masjid, Satu Jumlahnya - integrasi dengan konsep profesi. Masih banyak kegiatan lain yang bisa dilaksanakan praktis seperti tercantum di dalam sinopsis tersebut (persiksa artikel sebelumnya).

=======================================================================

Tidak ada komentar:

Posting Komentar