Abdul Qodir Jaelani |
PANDANGAN kaum spiritualis Islam, pelaku tarekat, atau kaum sufi terhadap masjid memiliki pemahaman dan penghayatan yang jauh lebih luas dari pada masyarakat pada umumnya. Mereka mafhum bahwa masjid itu adalah bangunan tempat ibadah (sholat) bagi umat Islam. Bahkan sejak zaman Nabi Saw, masjid dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Pemanfaatan masjid sebagai pusat kegiatan umat secara umum. Pendidikan keagamaan waktu itu meliputi seluruh disiplin ilmu, dilakukan di masjid. Tokoh-tokoh besar mulai dari Syech Abdul Qodir Jaelani (konon gurunya para sufi), hujjatul Islam Imam al-Ghozali, Jallaluddin Rumi hingga perjuangan para Walisongo terutama Sunan Kalijogo di Tanah Jawa senantiasa menempatkan masjid sebagai sentral kegiatan umat. Namun secara pribadi pun, masjid juga dimanfaatkan sebagai tempat i'tikaf. Seorang salik bisa dipastikan bertandang ke masjid selama dalam perjalanannya. Bisa jadi, baginya, masjid adalah "mahluk" yang senantiasa setia menyertai dan mengiringi sepanjang perjalanannya untuk "berteduh" raga dan jiwanya.
Imam al-Ghozali |
Bagi hujjatul Islam seperti Imam al-Ghozali - di mana salah satu kegiatannya adalah menulis. Masjid adalah pusat inspirasi batin yang mampu dituangkannya secara jernih dalam bentuk tulisan-tulisannya rasional - termasuk pembahasan tasawuf yang bisa dijelaskannya dengan gamblang.
Menurut analisa saya, beberapa substansi tulisan al-Ghozali senantiasa menyandingkan keterpaduan antara raga-jiwa, jasad-ruh, materi-immateri, fisik-metafisik sehingga menimbulkan suatu sistem keseimbangan. Demikian pula halnya dengan masjid, ada yang bersifat dualisme seperti tersebut di atas. Masjid bisa jadi sebagai raga, jasad, materi dan fisik bangunannya; namun masjid bisa jadi sebagai jiwa, ruh, immateri dan metafisik energinya. Masjid yang dimakmurkan dengan doa-doa khusyu' bagi yang beribadah dan beri'tikaf di dalamnya, malam-malam "diramaikan" dengan tahajjud dan mudzakarah hingga bercucuran air mata menyesali dosa atas dirinya yang khilaf maupun sengaja; maka masjid itu pun akan mengimbangi hamba-hamba Allah yang memakmurkannya dengan niat suci membersihkan diri dan jiwanya di masjid itu.
Tarian Sufi Rumi |
Jallaluddin Rumi |
Selain al-Ghozali - dari sekian banyak tokoh sufi lainnya yang tercatat maupun tidak - ada satu contoh lagi keluasan imajinasi seperti ditampilkan oleh Jalalluddin Rumi dengan tarian sufinya yang terkenal itu. Gerak rotasi yang stabil-dinamis tersebut memerlukan konsentrasi tinggi dari penarinya. Ini pun bisa jadi "kreatifitas" Rumi dalam mengejawantahkan bentuk zikirnya. Bagi kalangan sufi, ritual zikir secara formal duduk bersimpuh / bersila dengan atau tanpa tasbih; wirid sebanyak-banyaknya; dengan gerakan kepala atau diam sama sekali. Semuanya sah-sah saja selama ditujukan kepada Sang Mahakuasa, Tuhan Yang Mahaesa, Allah Swt. Yang jauh lebih penting adalah mengembalikan azas kemanfaatan manusia - apalagi para salik - bagi manusia lain dan alam sekitarnya. Sudahkah eksistensinya membawa manfaat atau keberkahan bagi yang lain?
Sementara itu, masjid dalam arti khusus adalah "tempat bersujud" bukan dalam arti bangunan raga, jasad, materi dan fisik. Di mana pun seseorang, pelaku tarekat, para salik dan kaum sufi bisa bersujud - baik secara ragawi maupun secara hati. Di mana pun!
Maka di situlah makna sejatinya masjid.
Contoh histori real adalah ketika Sunan Bonang memberi "pelajaran pertama" pada Raden Sahid untuk menjaga tongkat Sunan Bonang di pinggir kali. Kisah legenda ini banyak pro-kontra sebagaimana saya mencoba browsing di internet sebagai berikut (di antaranya):
- http://sufiroad.blogspot.com/
- http://kolom-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-sunan-kalijaga.html
- http://cafebelajar.wordpress.com/2011/08/15/lelaku-sunan-kalijaga-lewat-bima-suci/#more-127
Kebebasan berpikir, menulis hingga berpendapat dalam bentuk apa pun telah mencapai puncak kecanggihan teknologi, misalnya melalui media maya seperti ini. Seluas apa pun tinjauannya, orisinil maupun imitasi dengan berbagai polesan di sana-sini, betapa pun kembali kepada diri sendiri sesuai kemampuan "absorbsi-illuminasi" yang dimiliki.
Namun secara pribadi dengan bekal apa yang ada pada diri yang fakir ini, saya yakin bahwa kisah kepatuhan Raden Sahid menjaga tongkat Sunan Bonang sebagai wujud baktinya seorang murid kepada gurunya yang jauh lebih waskita. Banyak sekali metoda yang diberikan oleh seorang mursyid pada santrinya dengan caranya masing-masing tergantung bakat santrinya. Bahkan pada tingkatan "paling misterius" semisal Nabi Khidr memberi pelajaran kepada Nabi Musa yang sulit diterima oleh Nabi Musa. Siapakah gurunya Nabi Khidr? Apakah Allah Swt bisa kita "perlakukan" sebagai Sang Mahaguru sehingga turunnya ilmu laduni dari Tuhan bisa langsung tanpa perantara? (Periksa Buku "Bacalah..." Kajian 16: Berguru tanpa Guru, Berbuku tanpa Buku). Apakah bisa ilmu laduni itu diperoleh melalui puasa dengan berbagai tingkatan puasa? (Periksa Buku "Bacalah..." Kajian 36: Makna Puasa). "Innama 'amruhu idzaa 'aradasyai'an, 'an yaquula lahu kun fayakun"
Demikianlah ilmu dan laku yang dilaksanakan Raden Sahid yang menjadi Sunan Kalijogo. Kekhasan Sunan Kalijogo sebagai satu-satunya waliyullah berdarah Jawa, membuatnya dipercaya oleh para wali lainnya untuk menyelesaikan "perselisihan paham" dengan Syech Siti Jenar. Kisah ini pun banyak versi sehingga kurang tepat disajikan atau diperdebatkan di sini.
Yang perlu digaris-bawahi ketika para nabi, sahabat, para wali dan kaum spiritualis lainnya beri'tikaf - misalnya ketika Nabi Saw uzlah atau berkhalwat di Gua Hira' menjelang fase kenabiannya - adalah sesuatu kebutuhan mutlak bagi para "pencari Tuhan". Di kalangan orang Jawa, meditasi atau tapa brata ini sudah lazim. Begitu juga "duduk zazen" bagi para pendeta Tao. Dengan kesendirian, disempurnakan dengan duduk samadi, "nang ning ono nung" dst-dst sehingga hanya bisikan nurani-insani-illahi yang relatif lebih suci menyuarakan "kebenaran hakiki" di mana tempat bersujud diri yang fakir ini.
Jika konsentrasi diarahkan ke Asmaul Husna - Kasih Sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya - dan sifat-sifat Nabi Saw terhadap umatnya, maka sangat mungkin jiwa/ruh si salik yang sedang menyelami dunia batinnya itu akan sujud menyatu hingga seakan "melebur" di antara derai air mata yang membasahi pipinya. Kondisi "ekstase" ini sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata atau tulisan. Bagi Rumi, salah satu ekspresi sufistiknya adalah melalui tarian sufinya. Mungkin bagi sufi yang lain dengan puisi-puisinya. Inilah imajinasi seni sang sufi. Inspirasi ketuhanan dan kebenaran inilah yang menjadikan para salik mencapai kondisi yang lebih "dewasa" sebagai manusia.
Banyak pola i'tikaf, tapa brata atau samadi sesuai keyakinan dan kondisi bersangkutan. Intinya adalah kondisi tubuh serileks mungkin, kondisi batin tidak ada pertentangan hingga selaras sepenuhnya. Konon, untuk posisi salah satu dari cara duduk samadi adalah melihat ujung hidung. Pada kondisi tertentu, jika pandangan kedua mata ke ujung hidung ini akan membentuk penyatuan dua pandangan mata menjadi semacam kubah masjid. Wallahu'alam...
Jika masjid dimakmurkan melalui pendekatan tasawuf, bisa dipastikan banyak orang yang beri'tikaf di masjid pada malam-malam hari. Selain menghidupkan malam dengan ibadah, relatif bisa mengamankan lingkungan karena membantu siskamling, kegiatan spiritual ini akan membangun energi spiritual masjid - yang Insya Allah akan dilimpahi keberkahan melalui para malaikat yang mengelilingi menjaganya....
=======================================================================
Jika konsentrasi diarahkan ke Asmaul Husna - Kasih Sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya - dan sifat-sifat Nabi Saw terhadap umatnya, maka sangat mungkin jiwa/ruh si salik yang sedang menyelami dunia batinnya itu akan sujud menyatu hingga seakan "melebur" di antara derai air mata yang membasahi pipinya. Kondisi "ekstase" ini sangat sulit dijelaskan dengan kata-kata atau tulisan. Bagi Rumi, salah satu ekspresi sufistiknya adalah melalui tarian sufinya. Mungkin bagi sufi yang lain dengan puisi-puisinya. Inilah imajinasi seni sang sufi. Inspirasi ketuhanan dan kebenaran inilah yang menjadikan para salik mencapai kondisi yang lebih "dewasa" sebagai manusia.
Kubah Masjid |
Jika masjid dimakmurkan melalui pendekatan tasawuf, bisa dipastikan banyak orang yang beri'tikaf di masjid pada malam-malam hari. Selain menghidupkan malam dengan ibadah, relatif bisa mengamankan lingkungan karena membantu siskamling, kegiatan spiritual ini akan membangun energi spiritual masjid - yang Insya Allah akan dilimpahi keberkahan melalui para malaikat yang mengelilingi menjaganya....
=======================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar